Tahukah Anda
Beberapa Ikan di Aceh Dinamai Berdasarkan Ukuran Badannya
Sidang Komisi Bahasa Daerah Bidang Kemaritiman yang dilaksanakan Balai Bahasa Provinsi Aceh selama dua hari (4-5 Oktober 2021)di Hotel Kryiad Muraya..
PROHABA.CO, BANDA ACEH - Sidang Komisi Bahasa Daerah Bidang Kemaritiman yang dilaksanakan Balai Bahasa Provinsi Aceh selama dua hari (4-5 Oktober 2021) di Hotel Kryiad Muraya, Banda Aceh, mengungkap banyak hal tentang dunia perikanan.
Salah satunya yang mengejutkan adalah tentang penamaan beberapa jenis ikan di Aceh.
Ternyata, ada beberapa ikan di Aceh yang diberi nama berdasarkan ukuran badannya, sehingga ada satu jenis ikan yang memiliki dua, tiga, bahkan sampai enam nama.
Di antara ikan yang memiliki dua nama adalah ‘bagok’.
Semasih kecil, ikan yang punya kumis, patil, dan berduri keras di atas badannya itu dinamakan ‘suwiek’.
Ikan yang punya tiga nama di Aceh, di antaranya adalah belanak atau ‘kadra’.
Ketika kecil (ubiet), 'kadra' dinamakan 'seurampung'.
Ketika ukurannya lebih sejengkal tangan orang dewasa itulah yang bernama 'kadra'.
Di atas itu dinamakan 'subon'.
Nah, giliran 'kadra'-nya tumbuh sangat besar hingga beratnya mencapai 5 kg per ekor, mulai dinamakan 'rapeung'.
Namun, khusus di wilayah Tibang, Aceh Besar, 'seurampung' itulah yang dinamakan 'kadra' karena masih kecil. Ketika besar justru dinamakan 'belanuet'.
Baca juga: Camilan Sehat Keluarga, Ini Resep Siomay Ikan Kulit Tahu
Ikan dengan multinama lainnya adalah tongkol (cakalang).
Di Aceh, tongkol yang paling kecil dinamakan 'nekeng'.
Ukurannya sebesar jari kelingking hingga jari jempol tangan pria dewasa.
Satu tingkat di atasnya dinamakan 'jeurebok' dengan ukuran 15-20 cm.
Di atasnya lagi ada 'suree keumong' dengan ukuran 30-45 cm.
'Suree keumong' ini dinamakan juga 'pimpik' atau 'timpik', tergantung dialek daerah.
'Suree keumong' ini biasanya paling enak dipanggang atau diolah jadi keumamah (ikan kayu).
Di atas 'sure keumong', dinamakan 'ame-ame' dengan ukuran panjang 60-80 cm.
Nama Latinnya adalah Katsuwonus pelamis.
Berikutnya dinamakan 'pa-ak' yang beratnya di atas 20-25 kg.
Yang paling besar dalam keluarga tongkol ini adalah tuna, panjangnya di atas 100 cm dengan bobot lebih dari 25 kg.
Ciri khasnya berekor kuning.
Dagingnya lebih empuk dibanding tongkol dan lebih banyak diekspor daripada dikonsumsi di tingkat lokal.
Baca juga: Warga Tangkap Ikan Seberat 1 Ton
Sesuai ukurannya, harga ikan ini pun bervariasi.
'Suree keumong' dihargakan 60.000-80.000 rupiah per ekor dan 'ame-ame' berkisar antara 100.000-140.000 rupiah per ekor. Tuna besar ada yang harganya jutaan rupiah.
Selain itu ada ikan 'sisiek itam', sejenis tongkol berwarna itam dan sisiknya kecil-kecil dan lebih sedikit dibandingkan sisik ikan lainnya.
Panjang ikan 'sisiek itam' ini berkisar antara 20-70 cm.
Keragaman nama dan ciri ikan tersebut terungkap dalam sesi persidangan 14 peserta Sidang Komisi Bahasa Aceh selama dua hari.
Sebagaimana dikatakan Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Bahasa Provinsi Aceh, Agus Priatna, Sidang Komisi Bahasa Daerah tahun ini khusus membahas draf kosakata bahasa Aceh di bidang kemaritiman untuk pengusulan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Redaktur KBBI, Dewi Khairiah MHum yang menjadi narasumber dalam sidang komisi tersebut mengaku kagum atas keberagaman nama ikan di Aceh yang sebagian besar dinamakan berdasarkan ukuran badannya.
"Di tempat kelahiran saya, Sumatera Barat, belum saya temukan mekanisme penamaan ikan yang seperti ini.
Sungguh unik khazanah kemaritiman di Aceh," kata Dewi di akhir sidang komisi.
Agus Priatna menduga nama yang beragam untuk satu jenis ikan tersebut tidak semua dicipta oleh para nelayan.
Baca juga: Ikan Aneh Punya Gigi Mirip Manusia Ditemukan di Amerika
Ada juga hasil kreasi dari tauke bangku dan pedagang ikan di pasar.
"Untuk membedakan harga ikan dengan ukuran tertentu, pedagang biasanya memberikan varian nama lain untuk ikan tersebut.
Pembeli pun jadi mudah paham mengapa belanak atau tongkol dengan ukuran tertentu namanya lain dan harganya pun berbeda," urai Agus yang hobi mancing.
Namun, ia pertegas bahwa apa yang diutarakannya itu masih merupakan asumsi semata.
"Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan asumsi ini benar atau salah," kata Agus yang kakeknya seorang pelaut di Ulee Lheue, kawasan pesisir barat Kota Banda Aceh.
Usul 235 kosakata
Di akhir acara, 14 peserta, dua narasumber, dan empat panitia sepakat memilih 235 kosakata bahasa Aceh di bidang kemaritiman yang berpotensi dijadikan entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Secara leksikal, entri adalah kata atau frasa dalam kamus beserta penjelasan maknanya dengan tambahan penjelasan berupa kelas kata, lafal, etimologi, contoh pemakaian, dan sebagainya.
Sidang komisi ini merupakan inisiatif Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Badan ini pula yang membawahkan Balai Bahasa Provinsi Aceh.
Sebelum Sidang Komisi Bahasa Daerah ini dimulai pada 4 Oktober lalu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh sudah menugaskan tiga tim turun ke tiga daerah, yakni Kabupaten Aceh Barat, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Timur.
Baca juga: Tertelan Ikan Hidup-hidup, Seorang Pria Tahan Rasa Sakit Selama 15 Jam, Medis Ambil Tindakan Operasi
Di lapangan, tepatnya di wilayah pesisir, tim ini menghimpun dan merekam berbagai kosakata Aceh di bidang kemaritiman, terutama dari masyarakat nelayan dan pedagang ikan.
Dari lapangan akhirnya terhimpun 885 kosakata Aceh di bidang kemaritiman.
Kosakata inilah yang dibahas satu per satu dalam persidangan untuk menentukan apakah berpotensi atau tidak dijadikan entri dalam KBBI.
Kosakata yang sudah ada konsep dan sinonimnya dalam bahasa Indonesia tidak lagi diusulkan kosakata Acehnya untuk memperkaya entri KBBI.
Sebaliknya, kata atau frasa dalam bahasa Aceh yang spesifik dan tidak ada konsep, sinonim, maupun penjelasan makna/definisinya dalam KBBI, itu berpotensi untuk diusulkan sebagai entri KBBI.
Setelah dua hari bersidang, peserta, narasumber, dan panitia akhirnya mencapai empat poin kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam berita acara sidang komisi.
Kesepakatan itu, pertama, terdapat 253 kosakata bidang kemaritiman dalam bahasa Aceh yang berpotensi dijadikan entri dalam KBBI.
Kedua, terdapat 656 kosakata bidang kemaritiman dalam bahasa Aceh yang tidak berpotensi diusulkan sebagai entri dalam KBBI.
Baca juga: Bikin Perut Lapar karena Aromanya, Ini dia Resep Ikan Kuah Asam Aroma Kemangi
Ketiga, terdapat enam tambahan kosakata bidang kemaritiman dalam bahasa Aceh yang berpotensi dijadikan entri dalam KBBI.
Keempat, total kosakata bidang kemaritiman dalam bahasa Aceh sebanyak 891 dari jumlah awal 885 kosakata.
Peserta sidang komisi ini terdiri atas dosen dan guru bahasa Aceh, nelayan dan unsur Panglima Laot, peneliti, pegiat literasi, dan jurnalis.
Adapun beberapa contoh kosakata usulan peserta sidang komisi yang berpotensi dijadikan entri dalam KBBI itu adalah 'acak' yang dalam bahasa Aceh bermakna gelombang kecil yang beriringan di tengah laut.
Kemudian 'ali', yakni alat untuk memancing kepiting yang terbuat dari tali dan di ujungnya diberi umpan berupa ikan.
Bukan cuma kata, frasa pun diusulkan oleh sidang komisi untuk dijadikan entri dalam KBBI. Misalnya, 'khanduri laot', 'tueng len', 'lipat kajeng', 'ming kuwala', dan 'mon sira'.
Beberapa nama ikan dalam bahasa Aceh juga diusulkan masuk KBBI, misalnya 'krimen' untuk ikan makarel, 'mucum', 'bukum', 'murong', dan 'beloso'.
Semua nama ikan ini belum ada di KBBI.
Sebelumnya, di KBBI sejumlah kosakata bahasa Aceh sudah dijadikan entri. Misalnya, menasah (versi Acehnya meunasah), peusijuek, dan timphan. (*)
Baca juga: Dibuang Sembarangan, Ikan Mas Raksasa Merusak Danau