Herry Wirawan Dituntut Hukuman Mati, Pesantrennya Juga Diminta Bubarkan
Jaksa penuntut umum (JPU) kasus pemerkosaan 12 santri di Bandung dengan terdakwa Herry Wirawan meminta majelis hakim untuk membekukan yayasan ...
PROHABA.CO, BANDUNG - Jaksa penuntut umum (JPU) kasus pemerkosaan 12 santri di Bandung dengan terdakwa Herry Wirawan meminta majelis hakim untuk membekukan yayasan pondok pesantren dan sekolah yang didirikan terdakwa.
JPU Asep N Mulyana yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat meminta majelis hakim memberikan hukuman mati terhadap terdakwa pemerkosa belasan santri tersebut serta hukuman kebiri kimia.
Selain itu, terdakwa wajib membayar ganti rugi atau restitusi terhadap korban senilai Rp330 juta.
Tak hanya itu, Asep bersama tim JPU meminta majelis hakim untuk memberikan hukuman pencabutan Yayasan Pondok Pesantren Manarul Huda dan Madani Boarding School yang menjadi lokasi pemerkosaan korban para santri di bawah umur sejak 2016 hingga 2021.
"Kami meminta hakim untuk membekukan, mencabut, dan membubarkan yayasan yatim piatu Manarul Huda, kemudian Madani Boarding School, Pondok Pesantren Tafsir Madani," kata Asep seusai persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, Selasa (11/1/2022) siang.
Tak ada hal meringankan
JPU juga meminta majelis hakim merampas harta kekayaan aset terdakwa baik berupa tanah dan bangunan, pondok pesantren dan aset kekayaan lainnya, baik yang sudah disita maupun yang belum untuk dilelang.
Hasilnya diserahkan kepada negara melalui Pemerintah Provinsi Jabar.
Baca juga: Fakta Baru Kasus Guru Rudapaksa Santri, Istri Herry Tahu Aksi Bejat Suami
"Selanjutnya (hasil lelang) digunakan untuk biaya sekolah anak-anak dan bayi-bayinya dan kehidupan kelangsungan hidup daripada mereka," ucap Asep.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, jaksa tidak menemukan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Tuntutan hukuman mati itu disampaikan JPU karena kejahatan seksual yang dilakukan terdakwa kepada para santri dinilai jaksa terbukti.
Dalam agenda sidang pembacaan tuntutan, terdakwa kasus pemerkosaan itu didatangkan langsung ke ruang sidang. Ia mengenakan rompi tahanan dan diborgol.
"Pertama, menuntut terdakwa dengan hukuman mati. Ini sebagai bukti komitmen kami memberi efek jera pada pelaku atau pada pihak-pihak lain yang akan melakukan kejahatan (seksual)," kata Asep.
Asep menuturkan, hukuman mati yang diberikan kepada Herry Wirawan sesuai dengan perbuatannya melakukan pemerkosaan kepada belasan santriwatinya.
Kebiri kimia
Herry dituntut jaksa sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5), juncto Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Baca juga: HNW Desak Guru Pemerkosa 12 Santriwati Dihukum Terberat
"Kedua, kami juga menjatuhkan atau meminta kepada hakim untuk menjatuhkan tambahan pidana tambahan berupa pengumuman identitas yang disebarkan melalui hakim dan hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia," kata Asep.
Selain itu, Asep menyatkan pihaknya juga meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana sebesar Rp500 juta dan subsider selama satu tahun kurungan dan mewajibkan kepada terdakwa untuk membayarkan restitusi kepada anak-anak korban yang totalnya mencapai Rp330 juta.
Kajati Jawa Barat Asep N Mulyana yang menjadi tim JPU mengatakan, tuntutan tersebut berdasarkan kejahatan terdakwa yang dianggap merupakan kejahatan serius.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar tuntutan terhadap terdakwa Herry Wirawan.
Pertama, perbuatan terdakwa yang merupakan guru ngaji dan pemilik Yayasan Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani sebagai kejahatan sangat serius.
"Ada beberapa argumentasi dan pertimbangan mengapa kami menggolongkan kejahatan terdakwa sebagai the most serious crime.
Pertama, mengacu kepada Konvensi PBB yang menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi di mana perbuatan terdakwa masuk kategori kekerasan seksual," kata Asep.
Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa dilakukan kepada anak didik perempuan asuh yang berada dalam relasi kuasa.
Sehingga, anak-anak berada dalam kondisi yang tidak berdaya karena berada dalam tekanan pelaku dan kedudukan pelaku selaku pendiri pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren.
Baca juga: Guru Pesantren Hamili Belasan Santri, 9 Melahirkan
"Ketiga, kekerasan terdakwa ini itu berpotensi merusak kesehatan anak, terutama karena di bawah usia 17 tahun.
Data menunjukkan bukan hanya membahayakan kesehatan anak perempuan yang hamil di usia dini, tapi berisiko menularkan penyakit HIV, kanker serviks, dan meningkatkan angka mortalitas," tutur Asep.
Kemudian, perbuatan terdakwa berpengaruh kepada psikologis dan emosional anak di bawah umur.
Kelima, kekerasan seksual oleh terdakwa terus-menerus dan sistematik.
Mulai dari merencanakan, memengaruhi anak-anak mengikuti nafsu seks terdakwa, dan tidak mengenal waktu, pagi, siang, sore, bahkan malam.
Gunakan simbol agama
Selain itu, terdakwa memakai simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi para korban di bawah umur.
Oleh karena itu, pihak jaksa menuntut hukuman mati dan hukuman kebiri serta ganti rugi untuk korban terhadap terdakwa.
"Alasan pemberatan memakai simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi dan menjadikan alat justifikasi bagi terdakwa untuk melakukan niat jahat dan melakukan kejahatan ini yang membuat anak terpedaya karena manipulasi agama dan pendidikan," kata Asep.
Asep juga mengungkapkan, perbuatan terdakwa menimbulkan dampak luar biasa keresahan sosial.
Kemudian, perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan korban ganda menjadi korban kekerasan seksual dan korban ekonomi fisik yang menimbulkan dampak sosial berbagai aspek. (Liputan6.com)
Baca juga: Oknum Guru Perkosa Belasan Santriwati, Dihukum Kebiri?
Baca juga: Dukun Gadungan Rudapaksa Santriwati, Modus Ritual untuk Sembuhkan Penyakit
Baca juga: Pengajar Pondok Pesantren di Ogan Ilir Lecehkan 26 Santrinya