Revisi UU PIlkada

DPR RI Revisi UU Pilkada usai Putusan MK, Begini Komentar Pakar BRIN

Raker yang berlangsung di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Rabu (21/8/2024), itu membahas Revisi UU Pilkada.

Editor: Jamaluddin
KOMPAS.COM/NICHOLAS RYAN ADITYA
Suasana rapat kerja (raker) Baleg DPR RI dan Pemerintah membahas RUU Pilkada di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu (21/8/2024). 

Revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR RI sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan kepala daerah, dianggap sebagai kemunduran dan perilaku politikus yang memalukan. 

PROHABA.CO, JAKARTA - DPR RI melalui Badan Legislasi (Banleg) dan pemerintah melakukan rapat kerja (raker) pada Rabu (21/8/2024).

Raker yang berlangsung di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, itu membahas Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR RI sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan kepala daerah, dianggap sebagai kemunduran dan perilaku politikus yang memalukan. 

"Ini betul-betul setback dan menurut saya memalukan," kata Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Firman Noor, dalam program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Rabu (21/8/2024).

Firman menilai, sikap DPR itu memperlihatkan mereka sama sekali tidak mempedulikan kepentingan atau mengawal aspirasi dan kepentingan rakyat, serta mengesampingkan pendidikan politik yang seharusnya menjadi teladan dan mendewasakan masyarakat. 

"Secara substansial mereka lebih mementingkan dirinya, lebih mementingkan kelompoknya, untuk makin membuat kartelisasi politik di Indonesia semakin masif bekerja sama dengan para oligarki untuk kepentingan sesaat," ujar Firman dikutip dari Kompas.com

"Bukan membangun pendidikan politik yang baik dan peradaban politik yang baik bagi seluruh rakyat," sambung Firman. 

Firman menilai, sikap DPR merevisi UU Pilkada buat mengakali putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah memperlihatkan hal yang luput dari praktik demokrasi yang selama ini dijalankan. 

Padahal, menurut Firman, Indonesia dibangun dengan semangat kedaulatan rakyat demi tujuan kesejahteraan bersama. 

"Daulat rakyat. 

Artinya spirit demokrasi, bukan spirit oligarki, tapi yang dipertontonkan oleh para politisi hari ini sangat bertolak belakang dengan apa yg ingin diwariskan oleh para pendiri bangsa," ucap Firman. 

Seperti diketahui, pada Selasa (20/8/2024), MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD. 

Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 disebutkan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada. 

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sebelumnya kehabisan partai politik dengan perolehan suara 20 persen pada Pileg DPRD DKI Jakarta otomatis punya harapan. 

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved