PROHABA.CO - Perang saudara di Suriah telah berlangsung sejak 2011.
Para pemberontak Suriah menyalakan lagi perang saudara di negara yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al Assad.
Perang saudara yang sudah berlangsung 13 tahun di Suriah kembali menjadi sorotan setelah sebuah koalisi baru para pemberontak atau oposisi melancarkan serangan mendadak yang berhasil merebut Aleppo, salah satu kota terbesar dan pusat bisnis kuno di Suriah.
Serangan itu merupakan salah satu yang terkuat yang dilakukan para pemberontak dalam beberapa tahun terakhir, dalam sebuah perang yang dampaknya telah terasa jauh melampaui perbatasan negara.
Serangan para pemberontak terhadap Aleppo itu adalah yang pertama sejak tahun 2016, ketika serangan udara brutal yang dilakukan pesawat-pesawat tempur Rusia membantu Presiden Suriah, Bashar al-Assad, merebut kembali kota di barat laut itu.
Intervensi Rusia, Iran, dan Hizbullah yang merupakan sekutu Iran, serta kelompok-kelompok lain telah memungkinkan Assad untuk tetap berkuasa hingga kini.
Assad masih menguasai sekitar 70 persen wilayah Suriah.
Selama beberapa tahun terakhir, perang saudara itu mereda tetapi tidak pernah secara resmi berakhir.
Awal Perang
Pada puncak gerakan revolusi - yang diwarnai serangkaian aksi protes dan pemberontakan - yang melanda banyak negara di dunia Arab tahun 2011 (dikenal dengan sebutan Arab Spring), para demonstran pro-demokrasi di Suriah turun ke jalan-jalan.
Mereka menyerukan penggulingan Presiden Bashar al-Assad yang otoriter.
Aksi para pengunjuk rasa ditanggapi dengan kekerasan mematikan oleh rezim Assad.
Ketika pasukan Assad menghancurkan gerakan pro-demokrasi, oposisi bersenjata mulai terbentuk, yang terdiri dari milisi kecil yang terbentuk secara organik dan sejumlah tentara yang membelot dari militer Suriah.
Pasukan oposisi – yang terdesentralisasi, terdiri dari beragam ideologi, tetapi memiliki tujuan bersama yaitu menggulingkan Assad – didukung dengan berbagai cara oleh kekuatan asing termasuk Turki yang bertetangga dengan Suriah, kekuatan regional seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, serta Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Pemberontak Suriah Rebut Istana Presiden Bashar Al-Assad di Aleppo
Saat kekuatan anti-pemerintah terus bertumbuh, sekutu Suriah, yaitu Iran dan Rusia, meningkatkan dukungan mereka.
Di medan perang, Garda Revolusi Iran serta proksinya di Lebanon, yaitu Hizbullah, membantu rezim Assad dalam melawan kelompok opisisi bersenjata.
Di angkasa, Angkatan Udara Suriah didukung pesawat tempur Rusia.
Kelompok-kelompok ekstremis, termasuk Al Qaeda, tertarik pada Suriah dan bergabung dalam perjuangan bersama kaum oposisi moderat Suriah, meskipun kelompok oposisi moderat tidak menyetujui keterlibatan kelompok ekstremis tersebut.
Namun, tahun 2014, kaum ekstremis mendominasi, dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) mulai menyapu wilayah Suriah.
Khawatir Suriah akan menjadi sarang teror permanen, sebuah koalisi internasional yang dipimpin AS turun tangan dengan fokus mengeliminasi ISIS, tanpa menghadapi rezim Suriah.
Syrian Democratic Forces (SDF), mitra AS yang terdiri dari para pejuang Kurdi, berperang melawan ISIS dan secara efektif mengakhiri keberadaan secara teritorial kelompok teror tersebut.
Tahun 2020, Rusia dan Turki menyetujui gencatan senjata di provinsi terakhir yang dikuasai oposisi, yaitu Idlib, dan sepakat untuk membangun sebuah koridor keamanan dengan patroli bersama.
Sejak saat itu, tidak ada konflik besar yang terjadi, tetapi pemerintah Suriah tidak pernah berhasil merebut kembali seluruh wilayahnya.
Peristiwa di Aleppo saat ini menunjukkan bahwa perlawanan bersenjata masih tetap ada.
Mengapa Konflik Itu Berkobar Lagi Sekarang?
Serangan dimulai pada Rabu (17/11/2024) setelah para pemberontak membentuk koalisi baru yang disebut “Komando Operasi Militer”.
Mereka dengan cepat menyapu desa-desa di luar Aleppo.
Penduduk setempat mengatakan, kelompok para pemberontak telah menguasai sebagian besar kota itu.
Mereka hampir tidak mendapat perlawanan di sepanjang jalur yang mereka lalui.
Para kombatan oposisi mengatakan, mereka berusaha untuk membebaskan wilayah yang diduduki dan sedang menghadapi serangan dari pasukan pemerintah dan kelompok milisi pro-Iran.
Sejumlah analis mengatakan, para pemberontak mungkin berusaha memanfaatkan kesempatan setelah melihat rezim Assad sedang lemah, saat sekutu-sekutu utamanya berfokus pada konflik-konflik lain.
Baca juga: Penasihat Militer Iran Tewas Usai Serangan Udara Tentara Israel di Allepo Suriah
Rusia menginvasi Ukraina tahun 2022 dan telah mengerahkan tenaga dan sumber daya untuk perang itu.
Rusia merupakan mitra utama Assad di udara. Sementara itu Iran telah menderita akibat serangkaian serangan Israel, khususnya yang memberikan pukulan keras terhadap Hizbullah.
Para analis mengatakan bahwa pemberontak Suriah menggunakan kekosongan yang ditinggalkan kelompok tersebut untuk maju ke Suriah.
Menurut Robert Ford, duta besar AS terakhir yang bertugas di Suriah, sebagaimana dikutip AFP, serangan Israel selama berbulan-bulan terhadap sasaran Suriah dan Hizbullah di wilayah tersebut, dan gencatan senjata Israel dengan Hizbullah di Lebanon minggu lalu, menjadi faktor yang membuka peluang bagi para pemberontak Suriah bergerak lebih jauh.
Kehilangan Aleppo menjadi kemunduran signifikan bagi pasukan Assad.
Aleppo pernah menjadi kota terbesar di Suriah berdasarkan jumlah penduduk dan ibu kota ekonomi negara itu.
Aleppo juga merupakan salah satu kota tertua yang masih dihuni di dunia.
Aleppo juga merupakan benteng utama para pemberontak sampai Assad mengambil alihnya pada tahun 2016.
Ketika pemberontak mendapatkan kembali pijakannya di sana, mereka tidak lagi terpojok di Idlib. Hal ini berpotensi memicu efek domino.
Apa Dampaknya?
Meningkatnya konflik di Suriah akan membuat kawasan Timur Tengah berisiko menghadapi ketegangan yang lebih luas dengan dampak regional dan internasional yang signifikan.
Konflik itu terjadi bersamaan dengan perang antara Israel yang didukung AS melawan Hamas di Gaza dan Hezbollah di Lebanon, dua kelompok yang merupakan sekutu Iran.
Assad telah berperang melawan pasukan para pemberontak yang berupaya menggulingkannya selama 13 tahun.
Konflik itu diperkirakan telah menewaskan setengah juta orang. Sekitar 6,8 juta warga Suriah telah meninggalkan negara itu.
Gelombang pengungsi itu turut mengubah peta politik di Eropa dengan memicu gerakan sayap kanan anti-imigran.
Sekitar 30 persen wilayah Suriah yang tidak berada di bawah Assad dikendalikan oleh sejumlah kekuatan oposisi dan pasukan asing. AS memiliki sekitar 900 tentara di timur laut Suriah, jauh dari Aleppo, untuk berjaga-jaga terhadap kebangkitan ISIS.
Baik AS maupun Israel sesekali melakukan serangan di Suriah terhadap pasukan pemerintah dan milisi sekutu Iran.
Turki juga memiliki pasukan di Suriah, dan memiliki pengaruh dalam aliansi luas pasukan oposisi yang menyerbu Aleppo.
Setelah bertahun-tahun tanpa banyak perubahan besar dalam penguasaan wilayah oleh pihak-pihak yang bertikai di Suriah, pertempuran ini "berpotensi menjadi sangat penting dan mungkin mengubah situasi," terutama jika pasukan pemerintah Suriah gagal mempertahankan wilayah mereka, kata Charles Lister, analis untuk isu Suriah dari Middle East Institute di AS.
Risiko lain, kata Lister kepada AFP, adalah jika kelompok ISIS melihat ini sebagai peluang untuk kembali memperkuat posisi mereka.
Ini berarti bahwa pertempuran baru ini tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang berkonflik saat ini, tetapi juga bisa membuka peluang bagi kelompok ekstremis untuk mengambil keuntungan dari kekacauan.
Ford mengatakan, pertempuran di Aleppo akan menjadi semakin mengganggu stabilitas jika hal itu menarik Rusia dan Turki — masing-masing dengan kepentingan yang harus dilindungi di Suriah – terlibat dalam pertempuran secara langsung.
Baca juga: Israel Serang Suriah Lagi hingga Tewaskan 12 Petempur Pro-Iran
Siapakah Para Pemberontak?
Aliansi baru para pemberontak itu terdiri dari berbagai kekuatan oposisi, mulai dari faksi-faksi berhaluan ekstrem hingga moderat.
CNN melaporkan, kelompok yang kini memimpin koalisi baru itu adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan afiliasi Al Qaeda di Suriah yang dulu bernama Front Al-Nusra.
Kelompok tersebut secara resmi memutuskan hubungan dengan Al Qaeda dan telah menjadi penguasa de facto di Idlib.
Mereka bergabung dengan kelompok-kelompok yang didukung Turki dan kelompok lain yang sebelumnya didukung AS.
Hal yang memperumit situasi adalah beberapa kelompok pemberontak itu juga memerangi Syrian Democratic Forces (SDF) atau Pasukan Demokratik Suriah.
Free Syrian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah yang didukung Turki, yang merupakan bagian dari koalisi pemberontak yang menguasai sebagian besar kota Aleppo, mengatakan pada hari Minggu bahwa mereka telah menguasai kota Tal Rifaat dan kota Ain Daqna dan Sheikh Issa di bagian utara provinsi Aleppo.
Mereka juga mengklaim telah menguasai desa Shaaleh dan Nairabiyyeh di pedesaan utara Aleppo.
Wilayah-wilayah tersebut sebelumnya dikuasai SDF, bukan oleh pemerintah Bashar al-Assad. SDF sebagian besar terdiri dari para pejuang Kurdi dari kelompok yang dikenal sebagai Unit Perlindungan Rakyat (YPG), yang dianggap Turki sebagai organisasi teroris.
Reaksi Suriah
Pesawat tempur Suriah dan Rusia telah menyerang para pemberontak di Aleppo dan Idlib, sebuah taktik yang sangat penting dalam merebut kembali wilayah selama perang saudara.
Assad telah bersumpah bahwa Suriah akan terus “mempertahankan stabilitas dan integritas wilayahnya dalam menghadapi semua teroris dan pendukung mereka” dan kementerian pertahanan mengatakan pihaknya bersiap untuk melancarkan serangan balasan.
Namun sejauh mana kemampuan atau kesediaan pemerintah untuk merespons, masih belum jelas dan sebagian besar akan bergantung pada dukungan yang dapat diberikan para pendukung utama pemerintah.
Ada tanda-tanda para sekutu Suriah mendukung pemerintah.
Diplomat top Iran, Abbas Araghchi, melakukan perjalanan ke Damaskus dari Teheran pada hari Minggu kemarin.
Ketika para pemberontak menguasai Aleppo, termasuk situs-situs militer utama dan bandara, serangan balik apapun akan sulit dilakukan tentara Suriah.
Kota ini bertahan selama hampir dua tahun di bawah pengepungan terus menerus dari pasukan pemerintah sebelum direbut tahun 2016.
Baca juga: Setelah Putus Hubungan sejak Tahun 2012, Arab Saudi Kembali Tunjuk Duta Besar untuk Suriah
Baca juga: Dapatkan Sertifikat HAKI, Kupi Khop Resmi Jadi Ikon Khas Aceh Barat, Begini Kata Pj Bupati Azwardi
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Perang Saudara di Suriah Berkobar Lagi dan Apa Dampaknya?",
Update berita lainnya di PROHABA.co dan Google News