Virus Nipah, Ancaman Pandemi Berikutnya di Asia
KETIKA dunia fokus pada Covid-19, sejumlah ilmuwan justru bekerja keras untuk memastikan virus Nipah tidak menyebabkan pandemi berikutnya di dunia..
PROHABA.CO - KETIKA dunia fokus pada Covid-19, sejumlah ilmuwan justru bekerja keras untuk memastikan virus Nipah tidak menyebabkan pandemi berikutnya di dunia.
Tingkat kematian untuk virus Nipah kini mencapai 75 persen dan belum ada vaksinnya.
Pada Januari 2020, Supaporn Wacharapluesadee menjadi salah satu peneliti yang ditunjuk Pemerintah Thailand untuk menganalisis sampel dari penumpang pesawat yang baru tiba dari Wuhan, Cina.
Ia dan timnya berhasil mendeteksi kasus pertama Covid-19 di luar Cina.
Sekarang, Wacharapluesadee memantau ancaman yang berpotensi menjadi pandemi berikutnya.
Wacharapluesadee adalah pemburu virus kelas wahid.
Ia memimpin Thai Red Cross Emerging Infectious Disease-Health Science Centre, lembaga penelitian yang meneliti penyakit- penyakit infeksi baru (emerging) di Bangkok.
Selama sepuluh tahun terakhir, ia menjadi bagian dari Predict, ikhtiar global untuk mendeteksi dan menghentikan penyakit yang dapat melompat dari hewan ke manusia.
Ketika mendeteksi Covid-19, Wacharapluesadee dan timnya mendapati bahwa selain merupakan virus baru yang tidak berasal dari manusia, virus tersebut berkerabat dekat dengan jenis virus corona yang telah ditemukan pada kelelawar.
Sepanjang kariernya, Wacharapluesadee dan para koleganya telah meneliti ribuan sampel kelelawar dan menemukan banyak virus baru.
Baca juga: Mengapa Tahun Kedua Pandemi Covid-19 Bisa Lebih Buruk?
Sebagian besarnya adalah virus corona, tapi juga ada banyak penyakit mematikan lain yang dapat menular ke manusia.
Salah satunya adalah virus Nipah. Virus ini dibawa oleh kelelawar buah yang merupakan inang alaminya.
“Ini sangat mengkhawatirkan karena belum ada obatnya… dan tingkat kematian yang disebabkan virus ini tinggi,” kata Wacharapluesadee.
Dia menemukan bahwa tingkat kematian virus Nipah berkisar antara 40 hingga 75 persen, tergantung lokasi terjadinya wabah.
Seberapa serius ancamannya? Bukan cuma Wacharapluesadee yang khawatir.
Setiap tahun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meninjau daftar panjang patogen yang dapat menyebabkan darurat kesehatan masyarakat untuk memutuskan prioritas anggaran riset dan pengembangan mereka.
Mereka fokus pada patogen yang paling mengancam kesehatan manusia yang berpotensi menjadi pandemi dan yang belum ada vaksinnya.
Supaporn Wacharapluesadee berbicara dengan timnya, yang pertama kali mengonfi rmasi kasus Covid-19 di luar Cina, dalam misi mengumpulkan kelelawar pada September 2020.
Lihat Foto Supaporn Wacharapluesadee berbicara dengan timnya, yang pertama kali mengonfirmasi kasus Covid-19 di luar China, dalam misi mengumpulkan kelelawar pada September 2020.
(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA) Virus Nipah masuk dalam 10 besar.
Karena sejumlah wabah sudah terjadi di Asia, kemungkinan besar kita masih akan menemuinya di masa depan.
Ada beberapa alasan yang membuat virus Nipah begitu mengancam.
Baca juga: Varian Baru Virus Corona Brasil Ditemukan di Amazon
Periode inkubasinya yang lama (dilaporkan hingga 45 hari, dalam satu kasus) berarti ada banyak kesempatan bagi inang yang terinfeksi, tidak menyadari bahwa mereka sakit, untuk menyebarkannya.
Dapat menginfeksi banyak jenis hewan, menambah kemungkinan penyebarannya.
Dapat menular baik melalui kontak langsung maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi.
Seseorang yang terinfeksi virus Nipah dapat mengalami gejala-gejala pernapasan termasuk batuk, sakit tenggorokan, meriang, lesu, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian.
Singkatnya, ini adalah penyakit yang sangat berbahaya bila tersebar.
Bagaimana manusia bisa terpapar? Manusia dapat terpapar virus Nipah melalui kontak dengan kelelawar.
“Setiap interaksi manusia dengan kelelawar dapat dianggap sebagai interaksi berisiko tinggi,” menurut Veasna Duong, Kepala Unit Virologi di Laboratorium Penelitian Institut Pasteur di Phnom Penh dan kolega Wacharapluesadee.
“Paparan seperti ini dapat menyebabkan virus bermutasi, yang dapat menyebabkan pandemi,” kata Duong.
Misalnya, di Pasar Battambang, kota di Sungai Sangkae di barat laut Kamboja.
Ribuan kelelawar buah hinggap di pepohonan sekitar pasar, berak, dan kencing pada apa pun yang lewat di bawahnya.
Bila diamati dari dekat, atap kios-kios di pasar penuh dengan tahi kelelawar.
Baca juga: Fotopobia Kini Jadi Salah Satu Gejala Terpapar Covid-19
“Manusia dan anjing liar berjalan di bawah sarang-sarang, terpapar urine kelelawar setiap hari,” kata Duong.
Kontak manusia dengan kelelawar juga ditemukan di berbagai tempat lainnya.
“Kami mengamati (kelelawar buah) di sini dan di Thailand, di pasar- pasar, tempat ibadah, sekolah, dan lokasi turis seperti Angkor Wat, ada sarang besar kelelawar di sana,” ujarnya.
Angkor Wat biasa dikunjungi 2,6 juta orang setiap tahun. Ini berarti, 2,6 juta kesempatan bagi virus Nipah untuk melompat dari kelelawar ke manusia setiap tahun, hanya di satu lokasi.
Dari 2013 hingga 2016, Duong dan timnya meluncurkan program pemantauan GPS untuk memahami kelelawar buah dan virus Nipah, serta membandingkan aktivitas kelelawar Kamboja ke kelelawar lain di wilayah-wilayah ‘hotspot’ lainnya.
Di antara wilayah-wilayah ini adalah Bangladesh dan India.
Kedua negara ini pernah mengalami wabah virus Nipah yang kemungkinan besar terkait dengan kebiasaan meminum jus kurma. Pada malam hari, kelelawar yang terinfeksi terbang ke perkebunan kurma dan mengisap sari buahnya saat keluar dari pohon.
Saat mereka makan, mereka biasanya kencing di pot pengumpulan.
Warga setempat yang tidak tahu apa-apa membeli jus dari pedagang keesokan harinya, meminumnya dan terinfeksi oleh virus Nipah.
Di Aceh pun mulai banyak orang keranjingan jus kurma, bahkan jus nipah.
Dalam 11 wabah di Bangladesh dari 2001 hingga 2011, 196 orang dikonfi rmasi terinfeksi Nipah dan150 orang di antaranya meninggal dunia.
Jus kurma juga populer di Kamboja, tempat Duong dan timnya menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja terbang jauh–sampai 100 kilometer setiap malam–untuk menemukan buah.
Ini berarti, masyarakat di wilayah ini perlu menyadari bahwa mereka tidak hanya dekat dengan kelelawar, tetapi juga mungkin mengonsumsi produk yang terkontaminasi olehnya. (kompas.com)