Internasional
Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi, Ulama Ultrakonservatif Dan Juga Berperan Dalam Algojo Massal
Ebrahim Raisi, seorang hakim garis keras yang berada di bawah sanksi AS atas pelanggaran hak asasi manusia, meraih kemenangan telak pada Sabtu kemarin
PROHABA.CO - Ebrahim Raisi, seorang hakim garis keras yang berada di bawah sanksi AS atas pelanggaran hak asasi manusia, meraih kemenangan telak pada Sabtu (19/6/2021).
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan, Ebrahim Raisi merupakan presiden terpilih Iran.
Dia menambahkan, negara-negara lain harus bekerja dengan Raisi mulai dari sekarang sebagaimana dilansir Reuters.
Zarif melontarkan pengumuman tersebut pada Sabtu (19/6/2021), berselang sehari setelah pemungutan suara pemilihan presiden (pilpres) Iran digelar.
Dia meyakini, Raisi bakal memimpin Iran dengan baik.
Diketahui, Iran baru saja menggelar pemilihan presiden pada Jumat (18/6/2021) untuk menggantikan Hassan Rouhani yang telah menjabat selama dua periode berturut-turut.
Sehari setelahnya, Ebrahim Raisi dinyatakan keluar sebagai pemenang, mengalahkan tiga lawannya yaitu Abdolnaser Hemmati, Mohsen Rezaei, dan Amir Hossein Ghazizadeh Hashemi.
Kemenangan Ebrahim Raisi telah diprediksi sebelumnya.
Selain unggul di jajak pendapat, pemilu kali ini bahkan dianggap sebagai pemilu yang dirancang khusus untuk memenangkan Raisi, BBC melaporkan.
Banyak orang menghindari pemilihan, karena percaya pemilu itu direkayasa untuk mendukung Raisi, yang merupakan sekutu setia Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Lantas, seperti apa sosok Ebrahim Raisi?
Sebagai hakim ultrakonservatif, Raisi dikenal karena kesetiaannya pada struktur kekuasaan ulama Iran.
Sejak awal, dia telah muncul sebagai yang terdepan setelah lawan-lawan utama didiskualifikasi, oleh otoritas lapangan yang terbatas pada kandidat garis keras.
Ulama ini tidak memiliki pengalaman politik.
Tetapi dia memiliki karier yang panjang dalam sistem peradilan, yang membentuk reputasinya sebagai tokoh garis keras Iran dengan sedikit kesabaran untuk perbedaan pendapat politik.