Internasional

Presiden Baru Iran Ebrahim Raisi, Ulama Ultrakonservatif Dan Juga Berperan Dalam Algojo Massal

Ebrahim Raisi, seorang hakim garis keras yang berada di bawah sanksi AS atas pelanggaran hak asasi manusia, meraih kemenangan telak pada Sabtu kemarin

Editor: IKL
MORTEZA FAKHRI NEZHAD / YJC NEWS AGENCY / AFP
Foto selebaran ini dibagikan oleh Klub Jurnalis Muda Iran (YJC) menunjukkan kandidat presiden Iran Ebrahim Raisi, selama debat ketiga yang disiarkan televisi menjelang pemilihan 18 Juni, di studio televisi Negara Iran di Teheran pada 12 Juni 2021. (MORTEZA FAKHRI NEZHAD / YJC NEWS AGENCY / AFP) 

Kelompok hak asasi manusia mengatakan Raisi terlibat dalam kematian ribuan orang.

Bagi beberapa pemilih konservatif, sejarah ini menambah pengaruh politiknya.

 Algojo massal 1988

Tahanan politik Iran yang diinterogasi, disiksa dan dihukum mati oleh Ebrahim Raisi telah menceritakan pengalaman mengerikan mereka, ketika Iran bersiap untuk menjadikannya presiden negara berikutnya.

Farideh Goudarzi, yang dipenjara karena menjadi bagian dari kelompok politik terlarang, mengatakan Raisi menyaksikan penjaga menjatuhkan bayinya ke lantai.

Itu dilakukan sebagai bagian dari satu interogasi brutal, setelah Goudarzi disiksa saat hamil dan dipaksa melahirkan di penjara.

Mahmoud Royaee, tahanan politik lainnya mengatakan Raisi pernah menjatuhkan hukuman mati kepada seorang narapidana yang berada di tengah serangan epilepsi.

Kematian pria itu hanyalah salah satu dari banyak yang terjadi dalam lima bulan berdarah di musim panas 1988.

Sementara jumlah pasti orang mati tidak diketahui, diperkirakan bahwa setidaknya beberapa ribu dan mungkin lebih dari 30.000 orang dihukum mati, digantung oleh derek konstruksi dalam 10 kelompok.

Raisi dikenal sebagai "algojo" atas eksekusi tersebut karena keterlibatannya dalam "Komisi Kematian 1988."

Baik Goudarzi dan Royaee mengatakan penunjukan Raisi dimaksudkan untuk mengirim pesan ke penduduk Iran.

Yakni bahwa perbedaan pendapat tidak akan lagi ditoleransi, menyusul serangkaian protes besar dalam beberapa tahun terakhir.

Ketika sanksi lama dan baru dari AS menghantam Iran, perdagangan mengering dan perusahaan asing angkat kaki.

Kelesuan ekonomi yang mendalam yang telah memicu peningkatan inflasi, kehilangan pekerjaan, dan krisis yang diperdalam oleh pandemi Covid-19.

Ekonomi yang menukik tajam dan harga yang melonjak memicu serangan berulang dari kerusuhan sosial, yang dipadamkan oleh pasukan keamanan.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved