Apa Risiko Orang yang Tak Divaksin Covid-19?
Telah masuk tahun kedua, tapi pandemi Covid-19 belum juga usai. Sebagian negara lain sudah mulai merayakan ‘kebebasannya’ di tengah masih banyak ...
PROHABA.CO - Telah masuk tahun kedua, tapi pandemi Covid-19 belum juga usai.
Sebagian negara lain sudah mulai merayakan ‘kebebasannya’ di tengah masih banyak negara yang berjuang ‘melawan’ virus corona.
Belum lama ini, The Washington Post menemukan bahwa kasus Covid-19 meningkat di tempat-tempat di mana tingkat vaksinasi Covid-19 masih rendah.
Padahal, vaksin yang tersedia terbukti sangat efektif dalam mencegah orang mengembangkan kasus Covid-19 yang parah.
Hampir semua infeksi baru Covid-19 di Amerika Serikat yang mengakibatkan rawat inap terjadi pada orang-orang yang tidak divaksinasi.
Belum lagi, para ahli mengawasi penyebaran mutasi virus, seperti varian Delta yang berasal dari India, yang terbukti lebih menular dan bisa menyebabkan gejala yang lebih parah.
Sementara negara-negara seperti Kanada, Israel, Inggris, dan Amerika Serikat mengatakan bahwa lebih dari setengah populasi mereka setidaknya telah mendapatkan satu dosis vaksin Covid-19, di India penduduk yang mendapatkan vaksinasi masih di bawah 20 persen.
Dr Tom Frieden, mantan direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), menulis di blognya 17 Juni lalu bahwa varian Delta sekarang telah menyebar di setidaknya 62 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, bahkan Indonesia.
Baca juga: Natasha Wilona, Meski Positif Covid-19 tapi Tetap Ngotot Kerja
Beberapa minggu lalu, varian Delta menyumbang 2 persen dari kasus di Amerika Serikat, tetapi sekarang mencapai 6 persen dan akan terus berkembang pesat, terutama di wilayah negara dan kelompok demografis yang memiliki tingkat vaksinasi yang lebih rendah.
“Kabar baiknya adalah bahwa orang yang divaksinasi sepenuhnya, kemungkinan besar terlindungi dengan baik terhadap varian yang diidentifikasi sejauh ini, termasuk varian Delta, terutama untuk mencegah gejala parah,” tulis Frieden.
Vaksin Covid-19 sebetulnya menurunkan risiko ‘long covid’ hingga kematian.
Penyebaran varian Delta dan varian lainnya membuat para ahli khawatir bahwa orang yang tidak divaksinasi dapat menularkan versi virus yang lebih kuat dan berbahaya dalam beberapa bulan mendatang.
Meskipun pasokan vaksin Covid-19 telah melampaui permintaan di Amerika Serikat, beberapa faktor tertentu terus meningkatkan kemungkinan orang yang tidak divaksinasi tertular virus corona dan mengembangkan kasus Covid-19 yang parah.
“Ini termasuk kelompok yang kurang beruntung dan orang-orang di kelas sosial ekonomi rendah yang cenderung terinfeksi Covid-19 lebih sering daripada orang kulit putih atau orang Asia yang kaya,” kata Cutler.
“Ini bisa karena pekerjaan yang mereka pegang, kondisi kehidupan mereka, atau faktor penentu kesehatan sosial lainnya, atau juga mungkin ketidakadilan perawatan kesehatan,” imbuhnya.
Baca juga: Ribuan Warga Berdesakan Antre Vaksin di Lampung
Selain angka kasus infeksi yang tinggi, beberapa negara bagian yang cakupan vaksinasinya masih rendah, bahkan masih memiliki angka kematian yang relatif tinggi.
Sebut saja Michigan, Pennsylvania, New Jersey, Maine, Florida, dan Illinois, semuanya memiliki angka kematian akibat Covid-19 sekitar 50% lebih tinggi daripada angka rata-rata nasional.
Menurut ahli, vaksin Covid-19 hampir sempurna dalam mencegah kematian, sehingga penurunan kematian secara nasional menyembunyikan tingkat kematian akibat Covid-19 di antara orang yang tidak divaksinasi.
Hal ini berarti, tingkat kematian menunjukkan bahwa orang yang tidak divaksinasi tidak dalam kondisi aman.
Sementara itu, para ahli juga sering menunjuk tingkat rawat inap sebagai ukuran kritis pandemi, karena mereka mencerminkan jumlah orang yang menjadi sangat sakit.
Di AS sangat jelas, rawat inap akibat Covid-19 saat ini hanya tersebar di populasi yang tidak divaksinasi, beberapa distrik dan Michigan memiliki tingkat rawat inap sekitar dua kali lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Pennsylvania, Maryland, Florida dan Rhode Island juga memiliki tingkat rawat inap sekitar 50% lebih tinggi dari tingkat rawat inap nasional.
Baca juga: Tiga Vaksin Covid-19 Efektif Lawan Varian Baru Virus Corona
Selain risiko kematian dan rawat inap yang lebih tinggi, orang-orang yang belum divaksin Covid-19 juga berisiko lebih tinggi mengalami ‘long covid’.
Menurut CDC, kasus ‘long covid’ dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi Covid-19 dengan gejala ringan dan bahkan mereka yang benar-benar tanpa gejala.
Namun, beberapa ahli berpendapat, ada bukti yang lebih meyakinkan bahwa ‘long covid’ cenderung terjadi setelah infeksi Covid-19 yang parah atau bergejala.
Yang penting menjadi catatan adalah, Dr Monica Gandhi, pakar penyakit menular dari Universitas California, San Francisco mengatakan, ‘long covid’ tidak mungkin terjadi pada seseorang yang divaksinasi lengkap.
“Jika tubuh terpapar virus corona setelah vaksinasi, sistem kekebalan--alih-alih menghasilkan respons inflamasi yang tidak terorganisasi--justru siap untuk menghasilkan respons yang sangat terorganisir terhadap virus, sehingga membuat long covid tidak mungkin terjadi,” kata Gandhi.
Pascavaksinasi, sistem kekebalan pada dasarnya mengatakan, “Oke, saya akan beradaptasi untuk melawan virus khusus ini.”
Respons terorganisasi seperti itu yang akan menyelesaikan gejala Covid-19 dengan cepat.
Dr David Cutler, seorang dokter kedokteran keluarga di Pusat Kesehatan Providence Saint John di Santa Monica, California mengatakan bahwa sebelum vaksin tersedia, seseorang di Amerika Serikat memiliki sekitar 1 dari 10 kemungkinan mengembangkan penyakit Covid-19 selama setahun, tetapi risiko itu dapat berubah, karena tindakan pencegahan dilonggarkan.
"Untuk sebagian besar tahun lalu, semua orang diharuskan memakai masker, menjaga jarak sosial, dan bahkan lockdown.
Tapi sekarang, masyarakat yang sudah mendapatkan vaksin lengkap mulai melepas masker, dan secara teoritis ini meningkatkan risiko infeksi orang yang tidak divaksinasi," katanya. (kompas.com)