Hambali, Otak Bom Bali 2002, akan Diadili Amerika Serikat,

SOSOK yang disebut sebagai “otak” serangan teror bom di Bali, Oktober 2002, dan beberapa serangan bom lainnya, Hambali, dilaporkan mulai dihadirkan...

Editor: Muliadi Gani
GETTY/DIMAS ARDIAN VIA BBC INDONESIA
SEORANG perwira polisi Indonesia menunjukkan foto Hambali dalam jumpa pers 21 Agustus 2003 di Jakarta, Indonesia. 

Setelah 15 Tahun Mendekam di Guantanamo

PROHABA.CO - SOSOK yang disebut sebagai “otak” serangan teror bom di Bali, Oktober 2002, dan beberapa serangan bom lainnya, Hambali, dilaporkan mulai dihadirkan dalam persidangan militer Amerika Serikat, Senin (30/8/2021) waktu setempat.

Pria yang bernama asli Encep Nurjaman itu akan menghadapi dakwaan resmi di depan komisi militer AS di Teluk Guantanamo.

Hambali--salah-seorang pimpinan organisasi teroris Jemaah Islamiyah--ditangkap dalam operasi gabungan CIA-Thailand di Ayutthaya, Thailand, 14 Agustus 2003, ketika dalam pelarian.

Setelah ditahan di beberapa penjara rahasia milik CIA, dia akhirnya dipindahkan ke Guantanamo pada September 2006.

Upaya Jakarta untuk membawanya pulang saat itu tidak membuahkan hasil, meskipun tim penyidik kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) belakangan diizinkan untuk memeriksanya di Guantanamo.

Pria kelahiran 1964 asal Cianjur, Jawa Barat, ini diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (JI) dan organisasi teroris Al Qaeda di Asia Tenggara.

Selain disebut sebagai perancang serangan bom Bali 2002, dia dianggap bertanggung jawab dalam serangan serentak beberapa gereja di tujuh kota di Indonesia pada malam Natal, akhir 2020.

Riduan Isomuddin 'nama lainnya saat menetap di Malaysia 'dilaporkan ikut mendanai pula aksi serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta, 1 Agustus 2000.

Baca juga: Bom Ikan Merenggut Nyawa Nelayan di Aceh Singkil Hingga Perahu Hancur Kena Ledakan

Bom di Atrium Senen, Jakarta, 1 Agustus 2001, juga diduga melibatkan Hambali.

Pelakunya, Dani, warga Malaysia, adalah anak buah Noerdin M Top, yang juga bawahan Hambali di JI.

Selama masa buron dan setelah tertangkap, proyek pengeboman yang diduga kuat dirancang oleh Hambali dengan Al-Qaeda dilaksanakan tim yang terdiri atas orangorang dekatnya.

Selain Bom Bali 2002, menurut As’ad Said Ali, mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara, Hambali berada “di belakang” bom Marriot (5 Agustus 2003), bom Kedutaan besar Australia (9 September 2004), bom Bali 2 (1 Oktober 2005), dan terakhir bom Marriot- Ritz Carlton (17 Juli 2009).

“Rangkaian ledakan bom tersebut merupakan proyek Al Qaeda yang dipercayakan pelaksanaannya kepada Hambali,” kata As’ad dalam buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi, dan Sepak Terjangnya (2014).

Aparat kemanan AS juga menuduh Hambali merencanakan penyerangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, dan Australia di Singapura.

Sekarang, mendekati 15 tahun masa penahanannya di penjara Guantanamo, yang berkali-kali dikritik para pegiat HAM terkait “teknik interogasinya”, Hambali menunggu sidang pertamanya untuk mendengarkan dakwaan atas dirinya.

Hanya saja persidangannya digelar oleh Mahkamah Militer AS, bukan peradilan sipil.

Hal yang dikritik sejak awal oleh pengacaranya dan pegiat HAM dunia.

Baca juga: Densus 88 Tangkap 56 Orang Terduga Teroris di Makassar

Apakah Hambali masih berstatus WNI? Kementerian Luar Negeri Indonesia, melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, mengaku “belum mendapat informasi atas hal ini (rencana persidangan Hambali di AS).

” Hal itu disampaikan Teuku Faizasyah melalui pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/8/2021).

Ditanya apakah Hambali masih berstatus warga negara Indonesia (WNI), Faizasyah menulis, “Sepengetahuan saya saat Hambali ditangkap di Thailand, yang bersangkutan memegang paspor non-Indonesia,” katanya.

“Jadi, status kewarganegarannya merujuk ke paspor tersebut,” tambah diplomat asal Aceh itu.

Pada Maret 2010 lalu, Hambali mengajukan permohonan pembebasan dari penahanan tanpa tuduhan kepada pengadilan distrik di Washington.

Namun, permintaannya itu tidak diluluskan. Hambali, awalnya terlibat gerakan saat bertemu Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir 'dua tokoh Negara Islam Indonesia (NII)' di Malaysia pada 1980-an.

Dua orang ini melarikan diri ke Malaysia karena menjadi buronan pemerintahan Orde Baru, akibat terlibat gerakan pendirian Negara Islam.

Pada 1987, ketika Afghanistan dicaplok Soviet, Hambali dikirim ke sana untuk mengikuti pelatihan militer dan ikut bertempur mendukung kelompok Mujahidin.

Baca juga: Enam Teroris Penyerang Mako Brimob Depok Divonis Mati, Tak Seorang pun Banding

Ketika Hambali menjadi salah seorang pimpinan Jemaah Islamiyah, dia dipercaya mewakili organisasi itu ke Afghanistan.

“Hambali bertemu Osama bin Laden,” kata Nasir Abbas.

Menurut mantan wakil kepala BIN, As’ad Said Ali, Hambali merupakan “kader paling cerdas”, terbukti dia terpilih “sebagai lulusan terbaik angkatan keempat.

“Hambali pernah mendapat pendidikan militer di Afghanistan.

Dia angkatan ke-4 dan lulus 1989, dan sempat menjadi instruktur,” kata Nasir Abas, bekas pimpinan Jemaah Islamiyah, kepada BBC News Indonesia, Sabtu (28/8/2021).

Hambali juga dipercaya menjadi salah seorang pimpinan mantiqi (wilayah) satu JI (meliputi Malaysia, Singapura, Thailand Selatan) dan dia dipercaya mewakili JI ke Afghanistan.

Saat itu kelompok Taliban yang berkuasa dan Osama bin Laden diizinkan membuka kamp pelatihan militer di sana.

Di sanalah, menurut Nasir Abbas, yang pernah menjadi pimpinan JI dan menyatakan keluar, Hambali menjadi penghubung JI dan Al-Qaeda serta Taliban.

“Hambali kemudian bertemu Osama bin Laden,” ungkap Nasir.

Pertemuan itu, antara lain, membahas bahwa JI akan kirim anggotanya berlatih militer di kamp-kamp di Afghanistan.

Dalam amatan Al Chaidar, peneliti tentang terorisme, Hambali kemudian memiliki “hubungan khusus” dengan Al Qaeda dan Taliban.

Baca juga: Pria Diburu Polisi Setelah Lakukan Teror Ledakan Petasan di Rumah Mertua Demi Rujuk Dengan Istri

“Hambali memainkan peranan sebagai penghubung paling utama antara Abdullah Sungkar, Abubakar Baasyir dari JI dengan Al Qaeda dan Taliban,” papar Al Chaedar kepada BBC News Indonesia.

Mengapa Hambali yang dipilih, Al Chaidar menganggap karena dia sosok yang paling dipercaya, sudah dikenal, dan memiliki kemampuan berbahasa Arab.

Mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN), As’ad Ali Said mengatakan, “Kami berbicara bahasa Sunda dengan Hambali di Guantanamo, dan dia akui semua perbuatannya.

” Sejumlah perwira BIN dan Mabes Polri pernah bertemu Hambali di penjara Guantanamo yang di bawah kendali militer AS.

Di hadapan Hambali, mereka mengonfirmasi hasil penyelidikan tentang dugaan dirinya, Jemaah Islamiyah, serta Al Qaeda dalam serangkaian serangan bom di awal 2000 hingga 2009.

“Hambali bicara apa adanya, karena tim yang kami kirim pintar bahasa Arab dan juga bahasa Sunda,” kata As’ad Said Ali kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/8/2021).

Menurutnya, timnya yang menggunakan “pendekatan budaya”, melakukan konfi rmasi atas hasil penyelidikan sebelumnya yang mengarah pada dugaan keterlibatannya.

“Dia mengakui semua apa yang dilakukannya.

Terang-benderang, dia tidak menutup- nutupi, karena sudah no way ya,” aku As’ad.

Di hadapan Hambali, tim BIN dan Mabes Polri terutama mengonfi rmasi beberapa aksi teror bom yang “tidak diketahui” anggota JI lainnya. (kompas. com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved