Perempuan Aceh Adalah Srikandi Kuat

“Hingga saat ini, banyak kemajuan yang dirasakan oleh perempuan walaupun kesetaraan ideal yang dicita-citakan belum sepenuhnya tercapai,” ujar Mawardi

Editor: IKL
istimewa
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Aceh, Ir. Mawardi, saat menyampaikan sambutan pada acara Peringatan Puncak Hari Ibu ke-93 tahun 2021 di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Selasa, (14/12/2021). 

PROHABA.CO, BANDA ACEH – Memperingati Hari Ibu ke 93 Tahun 2021, Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah Aceh, Mawardi, mengatakan, perempuan Indonesia khususnya Aceh, merupakan srikandi-srikandi kuat yang mampu bangkit melampaui berbagai tantangan di tengah terpaan kondisi apapun.

Hal itu disampaikan Mawardi dalam sambutannya pada peringatan Hari Ibu ke 93 Tahun 2021, yang mengusung tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju” di Ajong Mon Mata, Selasa (14/12/2021).

“Melalui peringatan Hari Ibu ke-93 ini Saya berharap kita dapat merayakan dan memaknai berbagai kemajuan yang berhasil diraih oleh perempuan, sekaligus mengingat bahwa perjuangan masih panjang dan harus tetap dilanjutkan,” kata Mawardi.

Baca juga: Hendak Cairkan BSU di Medan, Mobil Pendamping Desa Pidie Terjungkal ke Sungai Langkat

Baca juga: Tak Puas Sekadar Debat, Wali Kota Baku Hantam di Atas Ring dengan Lawan Politiknya

Ia menyebutkan, dengan jumlah perempuan yang mengisi hampir setengah dari populasi Indonesia, sepatutnya kaum perempuan akan menjadi kekuatan bagi kemajuan bangsa. Maka itu, semua pihak, baik perempuan maupun laki-laki, harus mendorong pelibatan peran serta perempuan dalam segala bentuk dan sektor pembangunan.

Jika menilik kepada sejarah, kata Mawardi, perjuangan para perempuan bukanlah hal yang mudah. Sebab para perempuan-perempuan Indonesia khususnya Aceh dengan gagah berani menembus batas-batas sosial, bersuara untuk ikut memperjuangkan hak-hak kaumnya bersama-sama dengan kaum laki-laki untuk meraih kemerdekaan.

Sehingga pada akhirnya, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah mencantumkan, untuk menjamin kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan hal itu termasuk kaum perempuan.

“Hingga saat ini, banyak kemajuan yang dirasakan oleh perempuan walaupun kesetaraan ideal yang dicita-citakan belum sepenuhnya tercapai,” ujar Mawardi.

Ia mengatakan, faktor budaya patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, mengakibatkan, perempuan masih harus menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kualitas hidupnya.

Maka itu pemberdayaan perempuan saat ini masih harus menghadapi beragam tantangan, rintangan dan hambatan. Namun ada satu hal yang tidak berubah, yaitu perempuan Indonesia tetaplah sosok-sosok tangguh, kuat dan berani dalam menjadi penopang hidup kaumnya dan menjadi sebaik-baiknya ibu bangsa.

Maka itu, peringatan Hari Ibu ke-93 ini diharapkan menjadi momen penting untuk mendorong gerakan pemberdayaan dan perlindungan perempuan demi mewujudkan 5 isu prioritas perempuan yaitu: peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran keluarga dalam pendidikan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penurunan pekerja anak, serta pencegahan perkawinan anak.

Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Dyah Erti Idawati, mengatakan penting untuk memperkuat kembali peran perempuan Aceh di ruang publik, sehingga mampu memotivasi dan membuktikan pada dunia bahwa kinerja kaum perempuan di Aceh, tidak kalah dengan laki-laki.

“Kita semua harus memaknai Hari ibu ini dengan semangat berkarya untuk siap tampil di depan, dalam berbagai aktivitas pembangunan di daerah kita. Melalui peringatan Hari Ibu ini, kami mengajak perempuan Aceh untuk bangkit bersama-sama, dan terlibat dalam berbagai gerak pembangunan di daerah ini.” kata Dyah.

Ia mengingatkan, para kaum perempuan tidak boleh pesimis dan berpikir bahwa kaum ibu hanya bertanggungjawab untuk urusan-urusan rumah tangga. Kaum Ibu justru harus lebih banyak terlibat dalam pendidikan dan ketahanan ekonomi keluarga serta berkarya dalam berbagai bidang pembangunan lainnya. Dengan demikian, semangat egalitarian yang dulu pernah diterapkan di Aceh, dapat kembali bergema di era modern ini.

“Hampir 50 tahun sistem kesultanan di Aceh, pernah dipimpin oleh Sultanah, termasuk 34 tahun di masa kepemimpinan Ratu Shafiatuddin. Kerajaan Aceh juga memiliki banyak tokoh perempuan sebagai panglima perang. Jadi, kalau berkaca kepada sejarah masa lalu, perempuan Aceh pada dasarnya adalah perempuan pejuang,” ungkap Dyah.

Namun, ia menyayangkan, di era modern, peran tersebut mengalami degradasi.
Karena itu, kita perlu diperkuat kembali peran perempuan Aceh di ruang publik agar bangkit bersama-sama dan terlibat dalam berbagai gerak pembangunan di daerah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved