Berita Aceh Utara
Transaksi Tanpa Uang Warga Pegunungan dengan Pesisir, Cerita Mahasantri Aceh Utara dari NTT
Masyarakat di pedalaman NTT tersebut masih transaksi barter (tukar-menukar barang tanpa menggunakan uang) di pasar
PROHABA.CO,LHOKSUKON – Seorang mahasantri Aceh Utara, Hafiz Almansuri dari 27 Juni - 7 Juli 2022, mengikuti pengabdian di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kegiatan pengabdian itu berlangsung di Desa Warloka Pesisir, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat.
Warloka Pesisir termasuk desa terpencil atau jauh dari kota.
Selama di desa tersebut Hafiz, mahasantri Ma’had Aly Dayah Babussalam Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara mengikuti berbagai kegiatan pengabdian.
Programnya meliputi bidang Pendidikan, bidang ekonomi kreatif.
Kemudian bidang Pariwisata, seterusnya Lingkungan dan Kesehatan.
Hafiz satu-satunya peserta dari Aceh yang berhasil lolos seleksi dalam program tersebut.
Baca juga: Mahasantri Aceh Utara Lolos Program Pengabdian Masyarakat ke Pedalaman NTT
Pendaftar program pengabdian gelombang 4 tersebut diadakan Garuda Nusa melalui Program Garuda Nusa Youth Action Tahun 2022,
bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Mereka berasal dari Perguruan Tinggi se-Indonesia, termasuk dari Aceh dengan jumlah pendaftar lebih 1.000 orang.
Salah satu persyaratan adalah, peserta adalah pemuda dan pemudi yang berjiwa sosial yang tinggi.
Pembukaan pendaftaran dan seleksi berlangsung pada Maret 2022.
“Alhamdulillah saya lolos, dengan jumlah total 60 orang,” ujar Hafiz yang juga Ketua Pengurus Cabang (PC) Rabithah Thaliban Aceh (RTA) Aceh Utara.
Selama sepekan di sana, Hafiz melihat ada yang berbeda dalam transaksi di kawasan itu dengan pedalaman Aceh.
Baca juga: Seorang Petani di NTT Tewas Tersambar Petir
Masyarakat di pedalaman NTT tersebut masih transaksi barter (tukar-menukar barang tanpa menggunakan uang) di pasar.
Warga yang tinggal di kawasan pegunungan membawa turun sayur dan rempah-rempah ke pasar.
Di antaranya, cengkeh, lengkuas, kunyit, ubi, jahe, sirih, buah pisang, jeruk nipis dan sayur.
Kemudian rempah-rempah dan sayur tersebut ditukar dengan ikan yang dibawa masyarakat pesisir.
“Kalau sayur sama beras ditukar dengan ikan, itu sudah pasti ada tiap hari,” ujar Hafiz.
Kemudian jenis sayur dan rempah-rempah yang dibawa turun ke pasar juga berbeda sesuai dengan musimnya.
“Mereka sudah memiliki cara hitungnya sendiri, pasti sudah saling mengetahui” ungkap Hafiz.
Baca juga: Cuma Modal Jepit Rambut, Wanita AS Barter Online sampai Dapat Rumah
Misalnya satu ikat ikan ditukar dengan beras atau ikan dibarter dengan rempah lainnya.
Mereka sudah memahami takaran jumlah ikan dan beras.
“Masyarakat di tempat kami tinggal penghasilannya hanya ikan dari hasil melaut,” kata Mahasantri Aceh Utara.
Jadi untuk mendapat kebutuhan lain seperti sayur dan rempah-rempah, mereka menyiapkan ikan dari hasil melaut.
“Jadi masyarakat di pegunungan dengan pesisir setiap hari saling berinteraksi, karena saling membutuhkan,” ungkap Hafiz.
Gambaran lainnya kondisi Desa Waloka, kata Hafiz, kondisi alam yang indah belum dibarengi dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai.
Begitu juga dengan komunikasi, masyarakat masih kesulitan untuk dapat untuk berkomunikasi dengan ponsel.
Baca juga: Persiapan Karier Mahasiswa Perlu Dilakukan Sejak Dini
“Masyarakat lebih memilih menggunakan perahu untuk transportasi, dibandingkan jalan darat,” katanya.
Karena kondisi jalan yang sangat sulit dilintasi dengan kendaraan.
Kemudian belum adanya listrik yang merata.
Sehingga masyarakat di kawasan itu masih menggunakan genset untuk penerangan malam hari dan kebutuhan sehari-hari.
Bukan hanya di rumah saja, lembaga pendidikan seperti sekolah juga menggunakan genset.(*)