Tahukah Anda
Kaum LGBT Telanjur Percaya Info Salah dan Sains yang Usang?
Informasi sains salah (misinformasi dan disinformasi) dan pengetahuan usang, serta problematik tentang seksualitas menyebar luas lewat media massa ...
Sejumlah riset yang Kompas.com cermati berupaya menemukan cara–dengan pendekatan komunikasi, agama, pendidikan untuk mengubah orientasi seksual.
Para pakar harus berani menggeledah dasar teori riset-riset tersebut dan menggugatnya bila perlu.
Narasi informasi salah lain yang bersumber dari riset Zietsch dan Ganna adalah "jika pengaruh gen tidak dominan, maka menjadi gay adalah pilihan."
Seperti diungkapkan Bailey dalam publikasinya, pertanyaan dan pernyataan bahwa orientasi seksual "pilihan" itu "flawed".
Apakah kita betul-betul bisa membuat pilihan tanpa sebab? Apakah betul kita membuat keputusan tentang orientasi seksual kita?
Bailey mengatakan, orientasi seksual adalah bagian dari hasrat seksual kita dan untuk itu kita tidak memilihnya.
Baca juga: Abang & Adik Asal Aceh Bunuh ASN Pemkab Asahan, Mencuat Dugaan Hubungan Sesama Jenis
Agar tidak terjebak pada informasi salah, LGBT dan mereka yang bergerak pada isu tersebut harus lebih engage (terlibat) dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk genetika, neurosains, dan bidang lain yang mengeksplorasi seksualitas dari sisi sains. Paling tidak dengan membacanya.
Mengapa? Sains mempunyai sejarah “pathologizing” alias melabeli golongan tertentu sebagai "orang sakit" tanpa dasar yang kuat dan bias.
Penggolongan itu bukan hanya terhadap LGBT, melainkan juga orang berkulit hitam, orang yang suka masturbasi, dan lainnya.
Keterlibatan LGBT dengan ilmu pengetahuan bisa mereduksi bias dalam sains.
Pada saat yang sama, LGBT bisa mengenal etika riset dan paham bagaimana dirinya harus bersikap saat diminta menjadi responden dalam penelitian tertentu atau saat membaca hasil riset.
Ke depan, saat diminta menjadi responden riset, LGBT bisa bertanya: Apa tujuan risetnya?
Apa saja hak-hak saya? Apakah saya bisa cek bagaimana pernyataan saya dikonstruksi dalam publikasi?
Seberapa kredibel peneliti dan kolaboratornya? Mana daftar publikasi Anda? Siapa yang mendanai riset Anda? Jika perlu, penting bagi LGBT muda yang mempunyai kesempatan untuk menekuni sains, menjadi akademisi, peneliti, atau jurnalis sains.
Dengan begitu, representasi LGBT dalam komunitas ilmiah bisa meningkat dan harapannya bisa mendorong inklusivitas.
Pasti, perlu keterbukaan pihak lain untuk mewujudkannya. Lembaga riset, misalnya, seberapa ramah kepada LGBT.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)–pernah menyusun indikator kesetaraan gender berdasarkan jumlah persentase ilmuwan perempuan.
Saat ini, perluasan indikator kesetaraan itu perlu dilakukan. Sangat dangkal untuk mengukur kesetaraan gender hanya dari jumlah ilmuwan perempuan semata.
Sikap pada mereka yang masuk dalam kategori nonbinari perlu dijadikan salah satu kriteria.
Media pun mempunyai peran penting. Isu LGBT harus mendapat perhatian.
Perlu peningkatan representasi LGBT di dalam ruang redaksi sekaligus kesempatan bagi mereka untuk menyuarakan kepentingannya.
(kompas.com)
Baca juga: Gus Miftah Berikan Tanggapan Terkait Alasan Deddy Corbuzier Buat Konten LGBT
Baca juga: Kejari Musnahkan Barang Bukti, Nakotika Mendominasi Perkara, Sabu 594,95 Gram
Baca juga: Rumah Kru Dan Sopir Armand Maulana Ikut Terdampak Gempa di Cianjur