Palestina vs Israel
Krisis Kemanusiaan di Gaza Cukup Mengerikan
Warga palestina krisis segala aspek kebutuhan mulai dari layanan medis, makanan, air minum, kebersihan hingga tempat tinggal.
Penulis: Dedek Sumarnim | Editor: Jamaluddin
Sehubungan dengan kondisi itu, lembaga-lembaga bantuan memperingatkan bahwa kekurangan pasokan bahan medis akan menjadi 'bencana' di wilayah yang terkepung tersebut.
PROHABA.CO – Serangan dan blokade Israel membuat layanan dan sumber daya penting di Gaza menuju jurang kehancuran.
Pemboman tanpa hentinya di Gaza selama sepuluh hari oleh pasukan Israel sudah menyebabkan kerusakan luas pada sekolah-sekolah dan rumah sakit serta membuat hampir satu juta orang mengungsi.
Sehubungan dengan kondisi itu, lembaga-lembaga bantuan memperingatkan bahwa kekurangan pasokan bahan medis akan menjadi 'bencana' di wilayah yang terkepung tersebut.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menggambarkan situasi di Gaza sebagai hal yang 'menjijikkan' karena warga harus berjuang keras untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti makanan dan air.
Selain itu, warga sipul juga harus berjuang untuk mendapatkan perawatan medis di rumah sakit.
Sebelumnya, Israel sudah memerintahkan 1,1 juta rakyat Palestina untuk pindah dari utara ke selatan.
Perintah itu menimbulkan kepanikan dan kesengsaraan bagi puluhan ribu orang di wilayah yang menghadapi stagnasi ekonomi akibat 16 tahun blokade Israel.
Baca juga: PBB: Meninggalnya Jurnalis Shiren Abu Akleh Merupakan Pelanggaran HAM yang Dilakukan Israel di Jenin
Inilah beberapa hal sebagai ekses serangan Israel baru-baru ini terhadap kehidupan warga Gaza menjadi lebih sulit:
Pelayanan medis
Kelompok Bantuan Medis untuk Palestina (MAP) yang berbasis di Inggris mengatakan bahwa rumah sakit di Gaza menghadapi kekurangan pasokan medis akibat 'blokade total' yang dilakukan Israel.
Manajer Advokasi dan Kampanye MAP di Tepi Barat, Aseel Baidoun, kepada Aljazeera mengatakan, persediaan bahan untuk penanganan darurat, trauma, dan bedah dengan cepat habis di rumah sakit dan gudang mitra kesehatan.
Hal itu terjadi karena belum memungkinkan masuknya pasokan bantuan kemanusiaan dari pihak lain,” ujar Aseel Baidoun.
“Ada kekurangan darah, persediaan obat-obatan terbatas," sambungnya dikutip dari Aljazeera.
Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), pemadaman listrik di seluruh Gaza membuat rumah sakit yang ada di wilayah itu harus menggunakan generator eksternal sebagai sumber energi cadangan agar listrik dapat terus hidup hingga beberapa jam ke depan.
Banyak dari warga seperti pasien ginjal dan kanker, berada di antara hidup dan mati .
Hal ini akan menempatkan ribuan pasien pada risiko besar.
Baca juga: Israel Mulai Lancarkan Serangan ke Lebanon, Sebut Sasar Hezbollah
Menurut Dana Kependudukan PBB, saat ini 50.000 wanita hamil di Gaza tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan karena beberapa rumah sakit sudah dibom oleh Israel.
Direktur Regional ICRC untuk Timur Dekat dan Tengah, Fabrizio Carboni, mengatakan, bayi baru lahir yang berada di inkubator rumah sakit juga berisiko jika listrik padam
Direktur Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Nasser, Mohamed Kandil, kepada Aljazeera mengatakan, rumah sakit tidak bisa beroperasi lebih lama lagi karena listrik masih padam dan generator berbahan bakar milik rumah sakit akan segera mati.
"Sistem kesehatan akan runtuh.
Rumah sakit akan berubah menjadi kuburan,” ujar Mohamed Kandil.
"Rumah sakit yang terletak di Khan Younis itu menerima pasien baru setiap menit menyusul aliran pasien yang terus menerus selama seminggu terakhir,” tambahnya.
Menurut UNRWA, akibat kekurangan kantong jenazah, warga terpaksa menyimpan jenazah di truk es krim.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf al-Qidra, mengimbau masyarakat untuk pergi ke Rumah Sakit Shifa--rumah sakit terbesar di wilayah tersebut--untuk menyumbangkan darah agar bisa diberikan kepada warga lain yang membutuhkan.
“Jika rumah sakit berhenti bekerja, seluruh dunia akan bertanggung jawab atas nyawa ratusan bahkan ribuan pasien yang bergantung pada layanan kami, terutama dari Shifa,” tegas al-Qidra.
Baca juga: Di Tengah Serangan Besar, Setelah Banjir, Kini Badai Pasir Mengerikan Landa Israel
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, rumah sakit 'kebanjiran' pasien yang sebagian besar adalah orang-orang yang mencari keselamatan dari serangan Israel.
Kerusakan langsung akibat serangan udara Israel menyebabkan 24 fasilitas kesehatan, termasuk enam rumah sakit rusak.
Selain itu, sebut WHO, 15 petugas kesehatan meninggal dunia dan 27 lainnya luka-luka, serta 23 ambulans rusak.
Sebanyak 23 fasilitas pemerintah dan LSM lain yang hanya beroperasi sebagian, merawat rata-rata 1.000 pasien setiap hari.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyebutkan, jumlah itu jauh melebihi kapasitas yang ada.
Sektor kesehatan di Gaza sudah hancur akibat pendudukan Israel yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Menurut Bank Dunia, Gaza memiliki 1,3 tempat tidur rumah sakit untuk setiap 1.000 orang, dibandingkan dengan 3,3 tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang di Israel.
Kekhawatiran terhadap penyebaran epidemi meningkat karena masuknya orang-orang ke rumah sakit, sementara anak-anak di sana sudah tertular penyakit cacar.
Makanan
UNRWA mengatakan, hampir setengah juta orang tidak dapat mengakses jatah makanan karena penutupan pusat distribusi makanan sejak dimulainya serangan Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
“Orang-orang menghabiskan hari-hari mereka untuk mencari air dan bahan makanan pokok, kebanyakan roti dan beras,” kata Safwat Kahout, Produser Aljazeera di Gaza.
Sebuah laporan OCHA pada Minggu (15/10/2023) memperingatkan, dengan hanya satu dari lima pabrik yang berfungsi, cadangan tepung terigu mungkin akan habis dalam waktu kurang dari seminggu ke depan.
Serangan udara juga secara langsung merusak areal perternakan, terutama unggas dan lahan pertanian.
Penutupan jalur penyeberangan Karem Abu Salem--satu-satunya penyeberangan komersial yang dikenal oleh orang Israel sebagai Kerem Shalom--yang dilakukan Israel juga menghentikan aliran pakan untuk semua ternak.
Meski petani tidak dapat mengakses lahan mereka, namun pemadaman listrik juga berarti mereka tidak dapat menggunakan irigasi, mesin, perangkat inkubasi, atau pendingin yang diperlukan untuk menyelamatkan tanaman mereka.
Daerah di selatan seperti Khan Younis menanggung dampak kerusakan pertanian yang paling parah.
Menurut Euro-Med Monitor, dengan adanya pengungsian dan blokade yang terjadi saat ini, persediaan makanan pokok seperti telur, roti, dan sayuran kini sangat terbatas.
Warga di Gaza sud melaporkan adanya perebutan ketersediaan makanan, dengan anak-anak menjadi prioritas utama.
Dalam postingan yang dibagikan ke akun X (Twitter) mereka, sebelumnya Twitter @WFP_MENA, pada Minggu (15/10/2023), Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan bahwa penerbangan yang membawa 20 metrik ton biskuit berenergi tinggi sudah mendarat di dekat perbatasan Rafah di Mesir.
Saat ini sedang menunggu akses distribusi agar mereka dapat memberikan bantuan darurat kepada masyarakat yang terdampak.
Gaza sudah mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi di bawah pendudukan Israel.
Menurut WFP, sebanyak 63 persen dari 1,84 juta penduduk berada dalam kondisi rawan pangan.
Air minum
Air minum juga menjadi semakin langka di Gaza.
Kahout melaporkan, banyak keluarga yang berkeliling selama berjam-jam, membawa botol air di tangan, untuk mencari air.
Ketika masyarakat mendapatkan air, terutama melalui vendor swasta yang mengoperasikan pabrik desalinasi dan pemurnian air skala kecil menggunakan energi surya, yang lain terpaksa meminum air payau dari sumur pertanian.
Menurut OCHA, hal ini memicu kekhawatiran akan penyakit yang ditularkan kepada warga lain melalui air seperti kolera.
Laporan mengenai air minum di Gaza dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar air tersebut masih dalam kondisi tidak aman.
Laporan Dana Anak-Anak PBB (Unicef) pada Juni 2023 lalu menyatakan bahwa 96 persen air tidak layak untuk dikonsumsi manusia.
Hal ini menyebabkan sebagian besar keluarga membeli air dari pedagang kaki lima dengan harga tinggi.
Menurut Bank Dunia, kondisi itu jelas menjadi beban tambahan bagi populasi di mana setiap detik penduduk miskin terus bertambah.
Kebersihan
Pada Minggu (15/10/2023), OCHA mengatakan bahwa pabrik desalinasi air laut terakhir yang berfungsi di Gaza sudah ditutup karena kehabisan bahan bakar.
Sementara fasilitas air dan sanitasi, sumur air, waduk, dan stasiun pompa mengalami kerusakan akibat serangan udara Israel yang dilakukan terus menerus .
Meningkatnya polusi air secara dramatis akan meningkatkan masalah ginjal di Jalur Gaza.
Menurut Oxfam, pasien ginjal di kawasan itu meningkat sebesar 13-14 persen setiap tahun.
Instalasi pengolahan air limbah terakhir yang masih beroperasi di Gaza juga ditutup pada Minggu (15/10/2023).
Hal itu, menurut OCHA, menyebabkan sejumlah besar limbah yang tidak diolah dibuang ke laut.
Limbah dan limbah padat juga menumpuk di jalan-jalan hingga menimbulkan risiko kesehatan dan lingkungan.
Sebab, sebagian besar dari 65 stasiun pompa limbah berhenti beroperasi akibat tak ada bahan bakar.
Perumahan
Tinggal pada salah satu daerah terpadat di dunia, warga Gaza semakin terpinggirkan.
Serangan udara Israel dan perintah evakuasi oleh militer Zionis menyebabkan sekitar 600.000 orang mengungsi ke bagian selatan Gaza, dan hampir 400.000 orang di antaranya memadati tempat penampungan darurat UNRWA.
Menurut UNRWA, angka-angka itu kemungkinan besar terus meningkat secara signifikan sejak penghitungan pada 14 Oktober 2023 lalu.
Hal tersebut kemungkinan besar akan menjadi tempat berkembang biaknya penyakit.
“Banyak orang berlindung di sini dan di sekolah-sekolah dalam keadaan kacau balau dan tak bersih.
Ini akan menyebabkan epidemi di Gaza dan sekitarnya,” kata Muhammad Abu Salamiya di Rumah Sakit Shifa kepada Aljazeera.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum Gaza, hingga 13 Oktober 2023, setidaknya 7.000 rumah sudah hancur sementara 4.887 unit lainnya tidak dapat dihuni lagi.
Pengungsi tinggal di fasilitas umum atau bersama keluarga angkat.
Youmna ElSayed dari Aljazeera, yang tinggal di apartemen berukuran 100 m bersama keluarga angkat, mengatakan, orang-orang di selatan menampung setidaknya dua hingga tiga keluarga lain di rumah mereka.
Bahkan di antara keluarga tersebut tak saling mengenal secara pribadi.
Krisis perumahan di Gaza tidak berakhir di situ.
Banyak pengungsi, termasuk individu yang rentan seperti wanita hamil, korban luka, dan anak-anak, harus tidur di luar rumah. (Penulis adalah mahasiswa internship dari Universitas Teuku Umar Meulaboh Aceh Barat)
Artikel ini telah tayang di Aljazeera.com dengan judul Penjelasan mengenai krisis kemanusiaan yang mengerikan di Gaza.
Update berita lainnya di PROHABA.co dan Google News
Lebih 50 Kapal dari 44 Negara Menuju ke Gaza, Cucu Nelson Mandela Ikut Ambil Bagian |
![]() |
---|
Badai Pasir dan Kebakaran Landa Israel, Aktivitas Lumpuh Kualitas Udara Anjlok |
![]() |
---|
Kebakaran Hutan Hebat di Israel, Minta Bantuan Internasional |
![]() |
---|
Israel Kembali Bombardir Gaza, Timur dan Selatan Jadi Target, Gencatan Senjata Berakhir |
![]() |
---|
Israel Melakukan Pengusiran Paksa, Warga Pengungsi Di Tepi Barat Menghadapi Ketidakjelasan kehidupan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.