WNI Beberkan Kisah Jadi Korban Penipuan Ferienjob di Jerman

“Kami bekerja selama sebelas jam. Pulangnya sekitar jam 20.00 malam. Taksi untuk pulang tidak disediakan oleh agen pemberi kerja. Stasiun terdekat

Editor: Muliadi Gani
DOK RAMAYANA MONICA via DW INDONESIA
Ramayana Monica, mahasiswa asal Jambi, salah satu korban program Ferienjob.(DOK RAMAYANA MONICA via DW INDONESIA) 

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin yang dimintai keterangan meminta DW merujuk pada situs mereka, bahwa Ferienjob yang dilakukan para mahassiwa dari Indonesia itu tidak dilaksanakan dalam kerangka kerja sama bilateral antarpemerintah.

Di Jerman, sebagaimana pekerja pada umumnya, pelajar atau mahasiswa yang bekerja Ferienjob juga dilindungi undang-undang kerja. Lalu di mana letak persoalannya? Algooth menyampaikan pandangannya.

“Di satu sisi yang menawarkan pekerjaan mungkin ini program magang untuk kampus. Jadi, ada kesalahan informasi. Ini kampus yang mengatur.

Jadi ribet, karena ada informasi yang tidak disampaikan. Karena informasi tidak tersampaikan dengan benar maka terjadi kekeliruan.

” Sementara magang kerja atau istilah bahasa Jermannya “praktikum”, biasanya dilakukan mahasiwa sesuai dengan bidang studinya.

Kepada DW, ada beberapa korban memahami tawaran dari kampus dan agen sebagai magang kerja sehingga hal tersebut menimbulkan kesimpangsiuran ketika mereka tiba di Jerman dan dihadapkan pada pekerjaan yang harus mereka lakukan.

Salah satu universitas yang banyak disebut adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ketika ditemui DW, Juru Bicara UNJ, Syaifudin, mengakui Universitas Negeri Jakarta dan PT SHB (agen) melakukan penandatangan nota kesepakatan (MoU) pada 19 Mei 2023.

“Namun, isi dari MoU adalah “Internship International”. Jadi, jelas di situ adalah program magang, bukan bekerja.”

“Terkait dengan indikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kami nyatakan secara institusi perguruan tinggi, kami tidak ada niat sedikit pun melakukan tindakan yang melanggar hukum karena kami adalah insan akademik yang berorientasi melahirkan para lulusan yang berkarakter, berpengetahuan, dan juga berdaya saing,” tangkisnya.

Baca juga: Satgas TPPO Gagalkan Pengiriman 123 PMI Ilegal ke Malaysia

Perdagangan orang?

Dalam keterangan pers, polisi menyebut kasus ini sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus mengirim mahasiswa magang ke Jerman.

Meski sangat prihatin terhadap nasib korban, Algooth sendiri kurang sependapat jika kasus tersebut dikategorikan sebagai kasus perdagangan orang.

“Tidak ada yang diculik, tidak ada yang disiksa dan lain-lain. Kalau yang di Jerman ini kan mahasiswa daftar. Yang jadi masalah ada informasi tidak tersampaikan,” tutur Algooth. Menurutnya, pihak Jerman "dalam hal ini Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta" seharusnya menyampaikan penjelasan.

“Seharusnya mereka bicara bahwa mereka mengeluarkan visa berdasarkan aplikasi yang dikirim,” imbuhnya.

Berdasarkan bukti visa yang ditunjukkan korban kepada DW, mereka memperoleh Visa Schengen C.

Dari situs Kementerian Luar Negeri Jerman dijelaskan ini adalah visa jangka pendek selama tiga bulan.

Tertera di dalamnya tulisan boleh bekerja sesuai dengan izin yang diberikan.

Visa kerja ini khusus untuk bidang tertentu, yang berlaku hanya untuk 90 hari, sesuai Ordonansi Beschäftigungsverordnung §14 ayat (2).

Jerman saat ini memang sangat membutuhkan pekerja terampil asing.

Menurut perhitungan Institut Penelitian Ketenagakerjaan IAW, dibutuhkan 400.000 imigran setiap tahunnya untuk mengisi kekosongan di pasar kerja.

Oleh sebab itu Pemerintah Jerman kini terus berusaha mempermudah aturan bagi pekerja terampil yang ingin bekerja di Jerman.

Algooth mengatakan, kebutuhan atas tenaga kerja ini terbantu dengan masuknya tenaga asing, misalnya dari Indonesia.

“Jerman jadi ‘happy’. Sudah murah, mau pula bayar sendiri. Mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia itu kan berangkat sendiri.

Saya rasa Jerman ‘happy’, ada orang-orang yang mau dibayar murah,” ujarnya.

Yang jelas, korban seperti Ramayana dan Ade tidak ‘happy’ dengan apa yang sudah dialaminya di Jerman.

Ade masih menerima tekanan dari berbagai pihak.

Sementara Ramayana, setelah merasa tertipu dan dirugikan secara mental dan finansial, kini dirinya terlilit utang dana talangan, dana yang digunakan sebagai talangan untuk persiapan hingga hidup di Jerman.

Ia masih berutang Rp7 juta. Lewat kuasa hukum, kini ia dan beberapa korban lainnya telah menggugat sejumlah pihak di Jerman yang diduga terkait kasus ini.

Mereka digugat secara perdata di pengadilan Jerman dengan pasal perburuhan Jerman.

Bagi Ramayana gugatan ini penting, sebagai pembelajaran agar kasus serupa tidak lagi terulang, terutama bagi mereka dari kaum tak mampu yang ingin mengejar impian mereka di Jerman.

Baik Ramayana maupun Ade, serta beberapa korban lainnya, meski kini masih trauma, masih ingin suatu saat kembali lagi ke Jerman, “Mungkin saya ingin kembali ke Jerman.

Namun, dengan cara yang lebih baik, lebih beradab dan lebih bermartabat, serta saya mengharapkan tidak ada penerus-penerus saya mengikuti program ini dengan cara yang seperti saya, karena saya meyakini bahwa programnya baik, tetapi diselenggarakan oleh orang yang tidak baik,” pungkas Ade.

(Kompas.com)

Baca juga: Miris! Rombongan Pengantar Jenazah di Makassar Aniaya Seorang Driver Ojek Online

Baca juga: Serangan Udara Israel Hantam Konsulat Iran di Suriah, 2 Komandan Senior Pasukan Elit Quds Tewas

Baca juga: Ditunjuk Presiden Jokowi Jadi KSAU, Ini Karier Militer Marsdya Tonny Harjono

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita WNI Jadi Korban Penipuan Ferienjob di Jerman", 

 

 

Sumber: Kompas.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved