WNI Beberkan Kisah Jadi Korban Penipuan Ferienjob di Jerman

“Kami bekerja selama sebelas jam. Pulangnya sekitar jam 20.00 malam. Taksi untuk pulang tidak disediakan oleh agen pemberi kerja. Stasiun terdekat

Editor: Muliadi Gani
DOK RAMAYANA MONICA via DW INDONESIA
Ramayana Monica, mahasiswa asal Jambi, salah satu korban program Ferienjob.(DOK RAMAYANA MONICA via DW INDONESIA) 

PROHABA.CO, BERLIN - Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau smuggling magang ferienjob ke Jerman.

korban penipuan berkedok magang kerja tersebut bercerita, awalnya mengikuti ferienjob ke Jerman setelah ada tawaran agen penyalur tenaga kerja Brisk United 

“Kami bekerja selama sebelas jam. Pulangnya sekitar jam 20.00 malam. Taksi untuk pulang tidak disediakan oleh agen pemberi kerja. Stasiun terdekat jaraknya, kalau berjalan kaki itu satu setengah jam.”

“Kami berjalan kaki dalam gelap dan di tengah hujan dan dingin, suhunya 4 derajat Celsius, dan saya sedang datang bulan pada hari itu.

Kami kelelahan. Sampai di penginapan tengah malam,” tutur Ramayana Monica kepada Deutsche Welle (DW), stasiun radio dan televisi Jerman.

Ia meminta maaf menghentikan wawancarasejenak untuk menyeka air matanya yang berlinang mengenang malam yang traumatis baginya itu.

Ramayana merupakan salah satu dari lebih seribu mahasiswa yang menjadi korban penipuan berkedok “magang” di Jerman, periode Oktober-Desember 2023.

Dua kali semasa di Jerman ia terancam diusir dari tempat penginapan karena agen penyalur kerja belum membayar ongkos penginapan.

Pernah pula perempuan asal Jambi dan dua kawan perempuan lainnya diinapkan di satu kamar berisi enam tempat tidur yang dihuni para pria.

“Tanggal 23 (Desember), kami dipindahkan ke sebuah apartemen di Bremen.

Apartemen tersebut ternyata disewa satu kamar yang harus kami huni bersama laki-laki asing,” keluhnya kesal.

Ramayana juga bercerita ia sempat dipekerjakan untuk membantu renovasi apartemen di Bremen tanpa kontrak kerja.

Dari rekaman video yang ia kirimkan tampak Ramayana mengelupas pelapis dinding.

“Kami juga membantu untuk mencopot papan di lantai apartemen, membuang semua material dari lantai tiga ke lantai satu.

Naik turun sambil membawa material tersebut yang cukup berbahaya karena tajam, kami tidak punya sarung tangan dan barang-barangnya juga berat,” imbuhnya.

Baca juga: Siswi SMP Jadi Korban Perdagangan Orang dan Dijadikan Pekerja Seks, Ortu Lapor Polisi

Dari korban penipuan berkedok “magang” di Jerman ini, hanya beberapa saja yang mau bersuara dengan identitas jelas.

Beberapa korban lainnya mengaku waswas karena ancaman intimidasi berbagai pihak, termasuik tekanan dari rekan-rekan mahasiswa sendiri yang batal berangkat gara-gara mencuatnya kasus ini.

Ade (bukan nama sebenarnya) misalnya, yang pernah pingsan dua kali saat bekerja di bagian logistik pos di Jerman karena kelelahan mental dan fisik, mengaku kini ketakutan. Oleh karena itu, ia tidak mau mengajukan gugatan.

“Saya sudah berada di semester akhir dan proses untuk kelulusan saya itu sudah dekat, sehingga saya menghindari konflik dengan pihak kampus, terutama yang mungkin akan berdampak pada kelulusan saya,” ujarnya lirih dengan wajah yang tertutup masker dan kacamata hitam serta topi untuk menutupi identitasnya kala diwawancara DW via zum.

Berkali-kali ia dipindah kerja. “100 persen kerja fisik, mulai dari angkat barang seberat 0,5-30 kg, lalu dipindah lagi ke gastronomi, bersih-bersih dapur hingga WC,” keluh Ade yang pingsan di hari pertama kerja.

“Baru sampai ke kota lokasi kerja, kami langsung diminta untuk tanda tangan kontrak dalam bahasa Jerman yang kami tidak mengerti, dan paginya sudah diminta untuk bekerja, itu tidak manusiawi karena saya sudah memohon untuk meminta waktu istirahat, tetapi tidak diberikan dan mereka tetap menekankan bahwa waktu adalah uang,” keluhnya.

Saat pingsan dan dibawa ke rumah sakit. dia sangat stres karena awalnya harus membayar sendiri, padahal uangnya pas-pasan.

Untungnya Ade membawa berkas dokumen asuransi sehingga tidak perlu membayar.

“Selewat akhir pekan, di hari berikutnya bekerja dan pingsan lagi, tapi karena ingat betapa ribetnya administrasi di rumah sakit Jerman, saya putuskan tidak mau dibawa ke rumah sakit ketika pingsan untuk kedua kalinya.”

Vincent Arianto Gunawan dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Bonn, pernah bertemu beberapa mahasiswa lainnya yang mengikuti program serupa.

“Di bulan Oktober itu, ada mahasiswi yang jam 23.00 terlunta-lunta tidak ada tempat menginap karena terusir dari akomodasinya setelah diberhentikan bekerja.

Ada juga yang kena saraf kejepit disuruh kerja angkat-angkat barang berat,” tuturnya.

Sebelum berangkat ke Jerman, para mahasiwa mendapat informasi tentang program itu rata-rata dari kampus yang bekerja sama dengan sejumlah agen penyalur tenaga kerja di Indonesia dan Jerman.

“Bahkan ada tawaran untuk bisa mengonversi kegiatan ini dengan nilai satuan kredit semester (SKS),” papar Ade.

Atas perlakukan tidak menyenangkan dalam menjalani program itu, sejumlah mahasiswa mengadu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin, yang kemudian menindaklanjuti perkara tersebut bersama Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam laporan yang diterima kepolisian, ada puluhan perguruan tinggi di Indonesia yang tercatat mengirimkan sejumlah mahasiswanya dalam program tersebut ke Jerman pada 2023.

Kini, keterkaitan antara program tersebut dengan pihak kampus masih ditelusuri oleh pihak kepolisian.

Sejauh ini polisi sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu AJ (52), SS (65), MZ (60), ER alias EW (39), dan A alias AE (37).

Dua tersangka yang disebutkan terakhir berstatus buron dan diduga masih berada di Jerman.

Keterlibatan penyalur tenaga kerja di Indonesia dan di Jerman terus dilacak.

Baca juga: TNI AL Halau Kapal yang Angkut Pengungsi Rohingya ke Luar ZEE, Diduga Adanya TPPO

Ferienjob dan magang beda

Sejak akhir Oktober 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menyatakan bahwa program Ferienjob atau kerja saat musim liburan di Jerman bukan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Namun, beberapa perguruan tinggi bersama perusahaan penyalur tenaga kerja di Indonesia mempromosikan seolah-olah program yang mereka tawarkan adalah bagian dari MBKM, sehingga menjadikannya seolah program resmi, kata pengamat pendidikan Algooth Putranto, yang merupakan pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya.

“Karena kampusnya kemudian mengeklaim ini adalah program MBKM resmi, mahasiswa kemudian ikut.

Mereka menyetor ini, menyetor itu (uang). Sampailah ke Jerman, mereka terpaksa tanda tangan (kontrak kerja) dan lain-lain. Kemudian mereka kecewa.

Pemerintah juga telat berkoordinasi karena ada surat dari Kementerian Luar Negeri RI dari Mei 2023.

Baru ditindaklanjuti dan penghentian program Oktober 2023.” Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Jerman ini adalah hal yang banyak dilakukan para mahasiswa di Jerman pada masa liburan, misalnya bekerja di pabrik atau di gastronomi.

Di Jerman dikenal dengan sebutan Ferienjob, istilah umum bagi pelajar atau mahasiswa untuk kerja di masa liburan (Ferien dalam bahasa Indonesia artinya libur). Biasanya banyak mahasiswa memakai libur semester untuk mencari uang.

Algooth menjelaskan, “Kalau di negara-negara empat musim, kerja semacam itu adalah sesuatu yang biasa saat mahasiswa libur semesteran, mereka boleh bekerja,” paparnya.

Biasanya dilakukan pada pertengahan tahun. Oktober-Desember adalah masa kuliah, jadi menurutnya agak janggal bila mahasiswa dari Indonesia melakukannya di periode ini.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin yang dimintai keterangan meminta DW merujuk pada situs mereka, bahwa Ferienjob yang dilakukan para mahassiwa dari Indonesia itu tidak dilaksanakan dalam kerangka kerja sama bilateral antarpemerintah.

Di Jerman, sebagaimana pekerja pada umumnya, pelajar atau mahasiswa yang bekerja Ferienjob juga dilindungi undang-undang kerja. Lalu di mana letak persoalannya? Algooth menyampaikan pandangannya.

“Di satu sisi yang menawarkan pekerjaan mungkin ini program magang untuk kampus. Jadi, ada kesalahan informasi. Ini kampus yang mengatur.

Jadi ribet, karena ada informasi yang tidak disampaikan. Karena informasi tidak tersampaikan dengan benar maka terjadi kekeliruan.

” Sementara magang kerja atau istilah bahasa Jermannya “praktikum”, biasanya dilakukan mahasiwa sesuai dengan bidang studinya.

Kepada DW, ada beberapa korban memahami tawaran dari kampus dan agen sebagai magang kerja sehingga hal tersebut menimbulkan kesimpangsiuran ketika mereka tiba di Jerman dan dihadapkan pada pekerjaan yang harus mereka lakukan.

Salah satu universitas yang banyak disebut adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ketika ditemui DW, Juru Bicara UNJ, Syaifudin, mengakui Universitas Negeri Jakarta dan PT SHB (agen) melakukan penandatangan nota kesepakatan (MoU) pada 19 Mei 2023.

“Namun, isi dari MoU adalah “Internship International”. Jadi, jelas di situ adalah program magang, bukan bekerja.”

“Terkait dengan indikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kami nyatakan secara institusi perguruan tinggi, kami tidak ada niat sedikit pun melakukan tindakan yang melanggar hukum karena kami adalah insan akademik yang berorientasi melahirkan para lulusan yang berkarakter, berpengetahuan, dan juga berdaya saing,” tangkisnya.

Baca juga: Satgas TPPO Gagalkan Pengiriman 123 PMI Ilegal ke Malaysia

Perdagangan orang?

Dalam keterangan pers, polisi menyebut kasus ini sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus mengirim mahasiswa magang ke Jerman.

Meski sangat prihatin terhadap nasib korban, Algooth sendiri kurang sependapat jika kasus tersebut dikategorikan sebagai kasus perdagangan orang.

“Tidak ada yang diculik, tidak ada yang disiksa dan lain-lain. Kalau yang di Jerman ini kan mahasiswa daftar. Yang jadi masalah ada informasi tidak tersampaikan,” tutur Algooth. Menurutnya, pihak Jerman "dalam hal ini Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta" seharusnya menyampaikan penjelasan.

“Seharusnya mereka bicara bahwa mereka mengeluarkan visa berdasarkan aplikasi yang dikirim,” imbuhnya.

Berdasarkan bukti visa yang ditunjukkan korban kepada DW, mereka memperoleh Visa Schengen C.

Dari situs Kementerian Luar Negeri Jerman dijelaskan ini adalah visa jangka pendek selama tiga bulan.

Tertera di dalamnya tulisan boleh bekerja sesuai dengan izin yang diberikan.

Visa kerja ini khusus untuk bidang tertentu, yang berlaku hanya untuk 90 hari, sesuai Ordonansi Beschäftigungsverordnung §14 ayat (2).

Jerman saat ini memang sangat membutuhkan pekerja terampil asing.

Menurut perhitungan Institut Penelitian Ketenagakerjaan IAW, dibutuhkan 400.000 imigran setiap tahunnya untuk mengisi kekosongan di pasar kerja.

Oleh sebab itu Pemerintah Jerman kini terus berusaha mempermudah aturan bagi pekerja terampil yang ingin bekerja di Jerman.

Algooth mengatakan, kebutuhan atas tenaga kerja ini terbantu dengan masuknya tenaga asing, misalnya dari Indonesia.

“Jerman jadi ‘happy’. Sudah murah, mau pula bayar sendiri. Mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia itu kan berangkat sendiri.

Saya rasa Jerman ‘happy’, ada orang-orang yang mau dibayar murah,” ujarnya.

Yang jelas, korban seperti Ramayana dan Ade tidak ‘happy’ dengan apa yang sudah dialaminya di Jerman.

Ade masih menerima tekanan dari berbagai pihak.

Sementara Ramayana, setelah merasa tertipu dan dirugikan secara mental dan finansial, kini dirinya terlilit utang dana talangan, dana yang digunakan sebagai talangan untuk persiapan hingga hidup di Jerman.

Ia masih berutang Rp7 juta. Lewat kuasa hukum, kini ia dan beberapa korban lainnya telah menggugat sejumlah pihak di Jerman yang diduga terkait kasus ini.

Mereka digugat secara perdata di pengadilan Jerman dengan pasal perburuhan Jerman.

Bagi Ramayana gugatan ini penting, sebagai pembelajaran agar kasus serupa tidak lagi terulang, terutama bagi mereka dari kaum tak mampu yang ingin mengejar impian mereka di Jerman.

Baik Ramayana maupun Ade, serta beberapa korban lainnya, meski kini masih trauma, masih ingin suatu saat kembali lagi ke Jerman, “Mungkin saya ingin kembali ke Jerman.

Namun, dengan cara yang lebih baik, lebih beradab dan lebih bermartabat, serta saya mengharapkan tidak ada penerus-penerus saya mengikuti program ini dengan cara yang seperti saya, karena saya meyakini bahwa programnya baik, tetapi diselenggarakan oleh orang yang tidak baik,” pungkas Ade.

(Kompas.com)

Baca juga: Miris! Rombongan Pengantar Jenazah di Makassar Aniaya Seorang Driver Ojek Online

Baca juga: Serangan Udara Israel Hantam Konsulat Iran di Suriah, 2 Komandan Senior Pasukan Elit Quds Tewas

Baca juga: Ditunjuk Presiden Jokowi Jadi KSAU, Ini Karier Militer Marsdya Tonny Harjono

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita WNI Jadi Korban Penipuan Ferienjob di Jerman", 

 

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved