Konflik Buaya dengan Manusia

Konflik Buaya dengan Nelayan Singkil Berlanjut

Editor: Muliadi Gani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Buaya di pinggir sungai dekat permukiman penduduk Singkil, Aceh Singkil.

PROHABA.CO, SINGKIL -  Konflik antara buaya dan nelayan di Kabupaten Aceh Singkil, terutama di Kecamatan Pulau Banyak dalam beberapa tahun terakhir terus terjadi.

Serangan buaya terhadap nelayan yang tengah mencari nafkah di kawasan populasi buaya yang dilindungi semakin sering terjadi, menimbulkan korban jiwa dan luka-luka.

Konflik buaya dengan nelayan di Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, terus berlanjut dan tak kunjung henti. 

Berdasarkan catatan Prohaba.co, sepanjang tahun 2024 sudah tiga kali nelayan di batas Samudra Hindia tersebut diserang buaya.

Satu di antaranya ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.

Peristiwa pertama terjadi pada 22 Januari 2024 dengan korbannya adalah Mei Swakarya Zendrato yang tinggal di Desa Ujung Sialit, Kecamatan Pulau Banyak Barat.

Korban sempat hilang, hingga akhirnya ditemukan meninggal setelah dilakukan pencarian oleh tim Search and Rescue (SAR) gabungan.

Kasus kedua pada 17 Juli 2024. Korbannya bernama Arisman Gule, nelayan asal Dusun Kepeng, Desa Asantola, Pulau Banyak Barat.

Korban yang satu iniberhasil diselamatkan oleh rekannya. Kasus terbaru pada 8 September 2024, seekor buaya menyerang Ama Nota, warga Dusun Kepeng, Desa Asantola, Pulau Banyak Barat.

Baca juga: Nelayan Pulau Banyak Barat Aceh Singkil Selamat Usai Diterkam Buaya 

Ama Nota diserang buaya saat sedang berenang menangkap teripang (kolong) di dekat Pulau Matahari.

Korban setelah mendapat perawatan intensif di Puskesmas Pulau Banyak Barat, akhirnya dirujuk ke RSUD Aceh Singkil. 

Konflik manusia dengan buaya terus terjadi, sebab wilayah tangkap nelayan saling bersinggungan dengan habitat buaya.

Nelayan memaksa mencari nafkah di lokasi rawan buaya, sebab terdesak kebutuhan ekonomi.

Terkait kondisi itu Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil, Saiful Umar menyampaikan sejumlah usulan untuk penanganan buaya sesuai kewenangan masing-masing.

Usulan jangka pendek, sebutnya, pemerintah pusat dan Provinsi Aceh, sesuai kewenangannya, agar melakukan tindakan eleminasi satwa buaya di kawasan perairan laut yang sering mengancam nelayan.

Usulan kedua yang ditawarkan Saiful Umar berupa penanganan jangka panjang. Sehingga, konflik manusia dengan buaya bisa diselesaikan secara permanen.

Baca juga: Mayat Wanita Diduga Pengungsi Rohingya Terapung di Tepi Laut

Baca juga: BPOM Temukan Ada Obat Herbal Ilegal Mengandung Deksametason yang Berdampak Pada Ginjal

Untuk penanganan jangka panjang, kata Saiful Umar, pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan investor untuk penangkaran buaya di Kabupaten Aceh Singkil.

Konfik antara buaya dengan manusia di Kabupaten Aceh Singkil sebetulnya tak hanya terjadi di laut.

Pencari lokan (kerang sungai) di Sungai Singkil pun kerap bersinggungan dengan populasi buaya.

Maklum, lokasi lokan diyakini sebagai sarang buaya.

Bahkan, tumpukan lokan di dasar sungai dipercaya warga setempat merupakan tempat buaya tidur.

“Atas dasar itu, solusi permanen penanganan konflik manusia dengan buaya di Aceh Singkil, menjadi sebuah keniscayaan.

Mengingat secara kasatmata, populasi buaya sudah sangat banyak,” kata Saiful Umar.

Faktanya memang, buaya dengan mudah ditemukan di sungai yang ada di belakang permukiman penduduk Singkil. (*)

Baca juga: Diterkam Buaya, Seorang Nelayan Aceh Singkil Alami Luka Serius di Kepala dan Kaki

Baca juga: Terkam Nelayan Pulau Banyak, Seekor Buaya Berhasil Ditangkap

Update berita lainnya di PROHABA.co dan Google News