Antibiotik, Ancaman Kesehatan Paling Berbahaya di Dunia

SAAT kita terinfeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotik. Obat antibiotik ini berguna untuk membunuh dan menghentikan bakteri berkembang ...

Editor: Muliadi Gani
FOTO: NIH IMAGE GALLERY
Hasil pemindaian mikrograf elektron dari bakteri Staphylococcus aureus yang resisten atau kebal antibiotik jenis methicillin (kuning) dan sel darah putih manusia yang mati (berwarna merah). 

PROHABA.CO - SAAT kita terinfeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotik.

Obat antibiotik ini berguna untuk membunuh dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh.

Namun, tak jarang banyak orang langsung mencari antibiotik untuk mengobati segala macam sakit.

Seakan antibiotik adalah obat ajaib untuk semua hal.

Ini adalah tindakan keliru dan salah kaprah.

Penting diingat, antibiotik hanya untuk membunuh bakteri jahat dalam tubuh.

Bukan penyakit yang disebabkan virus seperti batuk pilek dan diare tanpa darah.

Apa jadinya jika antibiotik digunakan sembarangan?

Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter (overuse and misuse) merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan.

Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global.

Sementara pada periode 2000-2015, penggunaan antibiotik di negara-negara berkembang meningkat sampai 165 persen.

Baca juga: WHO Temukan Petunjuk Baru dari Mana Covid Berasal

Peningkatan penggunaan antibiotik dalam jumlah sangat besar ini menjadikan AMR sebagai salah satu dari sepuluh besar ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia.

Memang, situasi AMR di setiap wilayah berbeda.

Namun, Asia merupakan kawasan yang memiliki prevalensi AMR tinggi.

Oleh sebab itu, dalam KTT Menteri Luar Negeri ASEAN Plus Tiga ke-21 di Vietnam beberapa waktu lalu, disepakati perlunya upaya bersama mengatasi AMR.

Dr dr Erwin Astha Triyono SpPD, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi RSUD Dr Soetomo mengemukakan, perlunya upaya bersama untuk mengendalikan penggunaan antibiotik.

Menurutnya, budaya menggunakan antibiotik yang bijak perlu ditunjang sistem promosi dan edukasi yang berkelanjutan.

"Jumlah tenaga ahli mikrobiologi atau patologi klinik perlu ditambah dan didistribusi secara merata di seluruh wilayah Indonesia," kata Erwin dalam webinar bertajuk 'Kemitraan Sektor Swasta dan Peran Masyarakat Diperlukan dalam Mempromosikan Penggunaan Antibiotik Secara Rasional dan Tuntas' pada Kamis (10/6/2021).

Baca juga: NASA Temukan Planet Mirip Bumi dengan Atmosfer Aneh

Erwin menambahkan, kelengkapan alat-alat mikrobiologi dan standardisasi nasional serta keteraturan melakukan update pola resistensi kuman sangat diperlukan.

"Revisi tata laksana penggunaan antibiotik juga perlu dilakukan secara berkala.

” Erwin membenarkan, banyak masyarakat Indonesia yang berpandangan bahwa antibiotik bisa dipakai untuk semua penyakit.

Padahal, banyak penyakit infeksi khususnya yang disebabkan oleh virus sebenarnya bersifat self-limiting disease, artinya yang diperlukan adalah lebih banyak istirahat dan nutrisi. Bukan antibiotik.

"Banyak pasien berusaha mengobati penyakitnya sendiri dan bahkan membeli obat termasuk antibiotik di apotek dan setelah penyakitnya memburuk, baru berkonsultasi ke dokter atau layanan kesehatan," kata Erwin.

"Hal ini yang sering menyebabkan kuman menjadi resisten dan menimbulkan beban biaya menjadi lebih besar," imbuhnya.

Baca juga: Delapan Virus dan Penyakit Berbahaya yang Ancam Dunia

Vida Parady, mewakili Yayasan Orang Ttua Peduli (YOP), menambahkan, resistensi antibiotik merupakan krisis kesehatan dunia, bahkan disebut sebagai silent pandemic.

"Namun, banyak pihak belum peduli akan dampak resistensi antibiotik.

Masih sering ditemukan tenaga kesehatan yang meresepkan antibiotik pada penyakit karena infeksi virus.

Di sisi lain, masyarakat berpikir antibiotik dapat mencegah sakit menjadi lebih berat.

Semua pihak bertanggung jawab untuk menekan laju resistensi antimikroba,” imbuh Vida.

Dokter Erwin mengimbau masyarakat untuk menggunakan antibiotik secara bijak, rasional, dan tuntas supaya angka kesembuhan meningkat serta mengurangi lama rawat inap, angka kesakitan dan kematian, pembiayaan, penularan kepada orang lain dan mencegah resistensi.

“Selain meningkatkan peran semua pihak, termasuk pemerintah (dalam hal ini lintas kementerian) serta swasta untuk mendukung program pengendalian resistensi antibiotik, peningkatan implementasi program di semua fasilitas kesehatan juga penting untuk dilakukan,” tambahnya. (kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved