Herry Wirawan Dituntut Hukuman Mati, Pesantrennya Juga Diminta Bubarkan

Jaksa penuntut umum (JPU) kasus pemerkosaan 12 santri di Bandung dengan terdakwa Herry Wirawan meminta majelis hakim untuk membekukan yayasan ...

Editor: Muliadi Gani
Foto: Ist/Tribunjabar
Foto: Ist/Tribunjabar Herry Wirawan, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan 8 bayi. Herry Wirawan Dituntut Hukuman Mati dan Kebiri Kimia hingga Bayar Denda Rp 500 Juta. 

Herry dituntut jaksa sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5), juncto Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Baca juga: HNW Desak Guru Pemerkosa 12 Santriwati Dihukum Terberat

"Kedua, kami juga menjatuhkan atau meminta kepada hakim untuk menjatuhkan tambahan pidana tambahan berupa pengumuman identitas yang disebarkan melalui hakim dan hukuman tambahan berupa tindakan kebiri kimia," kata Asep.

Selain itu, Asep menyatkan pihaknya juga meminta kepada majelis hakim untuk menjatuhkan pidana sebesar Rp500 juta dan subsider selama satu tahun kurungan dan mewajibkan kepada terdakwa untuk membayarkan restitusi kepada anak-anak korban yang totalnya mencapai Rp330 juta.

Kajati Jawa Barat Asep N Mulyana yang menjadi tim JPU mengatakan, tuntutan tersebut berdasarkan kejahatan terdakwa yang dianggap merupakan kejahatan serius.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar tuntutan terhadap terdakwa Herry Wirawan.

Pertama, perbuatan terdakwa yang merupakan guru ngaji dan pemilik Yayasan Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani sebagai kejahatan sangat serius.

"Ada beberapa argumentasi dan pertimbangan mengapa kami menggolongkan kejahatan terdakwa sebagai the most serious crime.

Pertama, mengacu kepada Konvensi PBB yang menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi di mana perbuatan terdakwa masuk kategori kekerasan seksual," kata Asep.

Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa dilakukan kepada anak didik perempuan asuh yang berada dalam relasi kuasa.

Sehingga, anak-anak berada dalam kondisi yang tidak berdaya karena berada dalam tekanan pelaku dan kedudukan pelaku selaku pendiri pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren.

Baca juga: Guru Pesantren Hamili Belasan Santri, 9 Melahirkan

"Ketiga, kekerasan terdakwa ini itu berpotensi merusak kesehatan anak, terutama karena di bawah usia 17 tahun.

Data menunjukkan bukan hanya membahayakan kesehatan anak perempuan yang hamil di usia dini, tapi berisiko menularkan penyakit HIV, kanker serviks, dan meningkatkan angka mortalitas," tutur Asep.

Kemudian, perbuatan terdakwa berpengaruh kepada psikologis dan emosional anak di bawah umur.

Kelima, kekerasan seksual oleh terdakwa terus-menerus dan sistematik.

Mulai dari merencanakan, memengaruhi anak-anak mengikuti nafsu seks terdakwa, dan tidak mengenal waktu, pagi, siang, sore, bahkan malam.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved