Dan tidak seharusnya merasa memiliki itu sepenuhnya. "Lupa kalau tidak semua orang dititipi.
Ini kan masalah titipan, pemahaman terhadap sebuah titipan dari Yang Maha Kuasa," kata Dewi Yull.
"Kita sebagai orangtua, diberi keturunan, (merasa) seperti itu hak kita, itu hak kita dong, itu anak kita.
Lupa, banyak orang enggak dikasih kesempatan, terus yang enggak punya bagaimana?
Apa yang mau mereka hak-i?" imbuhnya.
Pemikiran bahwa anak adalah hak mereka itu yang kemudian membuat orangtua menjadikan anak sebagai obyek.
Orangtua merasa anak harus membalas semua yang sudah mereka korbankan, berikan dalam proses menuju kesuksesan.
Baca juga: Pria yang Ancam dan Peras Ria Ricis Dibekuk Polisi, Ada Barang Bukti HP hingga Sim Card
"Begitu anak menikah, sukses karrier, orangtua bilang 'itu hak saya, enak aja udah disekolahin, udah pengorbanan luar biasa, tiba-tiba kerja, yang nikmatin istri kamu,'" ujar Dewi Yull.
"Lah, tugas kita membesarkan selesai, doanya sama Allah, semoga anak kita jadi anak bakti, soleh, solehah, udah," jelasnya.
Menurutnya, tak bisa orangtua menuntut anak berbakti atau membalas pengorbanan mereka.
Tapi tugas orangtua adalah mendoakan agar anak memiliki kesadaran itu sendiri untuk berbakti pada orangtua.
"Kalau dia inget, kita alhamdulillah, berarti doa kita didengar.
Kalau mereka abai, berarti takdir kita, apa yang salah?" ucap Dewi Yull.
"Karena kan enggak semua orangtua, ada yang enggak sempurna, tapi merasa paling sempurna, kalau sudah bicara soal anak, merasa paling berjasa, paling berkorban.
Enggak bisa dari point of view kita, tapi si anaknya," imbuhnya.