Di medan perang, Garda Revolusi Iran serta proksinya di Lebanon, yaitu Hizbullah, membantu rezim Assad dalam melawan kelompok opisisi bersenjata.
Di angkasa, Angkatan Udara Suriah didukung pesawat tempur Rusia.
Kelompok-kelompok ekstremis, termasuk Al Qaeda, tertarik pada Suriah dan bergabung dalam perjuangan bersama kaum oposisi moderat Suriah, meskipun kelompok oposisi moderat tidak menyetujui keterlibatan kelompok ekstremis tersebut.
Namun, tahun 2014, kaum ekstremis mendominasi, dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) mulai menyapu wilayah Suriah.
Khawatir Suriah akan menjadi sarang teror permanen, sebuah koalisi internasional yang dipimpin AS turun tangan dengan fokus mengeliminasi ISIS, tanpa menghadapi rezim Suriah.
Syrian Democratic Forces (SDF), mitra AS yang terdiri dari para pejuang Kurdi, berperang melawan ISIS dan secara efektif mengakhiri keberadaan secara teritorial kelompok teror tersebut.
Tahun 2020, Rusia dan Turki menyetujui gencatan senjata di provinsi terakhir yang dikuasai oposisi, yaitu Idlib, dan sepakat untuk membangun sebuah koridor keamanan dengan patroli bersama.
Sejak saat itu, tidak ada konflik besar yang terjadi, tetapi pemerintah Suriah tidak pernah berhasil merebut kembali seluruh wilayahnya.
Peristiwa di Aleppo saat ini menunjukkan bahwa perlawanan bersenjata masih tetap ada.
Mengapa Konflik Itu Berkobar Lagi Sekarang?
Serangan dimulai pada Rabu (17/11/2024) setelah para pemberontak membentuk koalisi baru yang disebut “Komando Operasi Militer”.
Mereka dengan cepat menyapu desa-desa di luar Aleppo.
Penduduk setempat mengatakan, kelompok para pemberontak telah menguasai sebagian besar kota itu.
Mereka hampir tidak mendapat perlawanan di sepanjang jalur yang mereka lalui.
Para kombatan oposisi mengatakan, mereka berusaha untuk membebaskan wilayah yang diduduki dan sedang menghadapi serangan dari pasukan pemerintah dan kelompok milisi pro-Iran.