Apakah benar seluruh unsur yang menyebabkan mereka disebut sebagai teroris sudah terbukti?” “Jika benar, maka kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum.
Namun, sejauh ini, kita belum mendengar adanya tindakan kekerasan yang mengancam nyawa dari pihak yang bersangkutan,” tegas Wamenag.
Romo Muhammad Syafi ’i mengingatkan bahwa keterkaitan dengan kelompok ideologis seperti NII tidak serta-merta berarti terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme secara tegas mensyaratkan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyebut seseorang sebagai teroris.
“Saya setuju dengan pemberantasan jaringan teror, tapi mohon agar semua dilakukan sesuai undang-undang.
Jangan sampai seseorang yang bukan teroris diekspos sebagai teroris,” ujar Romo, panggilan akrabnya.
“Maka, tidak boleh ada pelabelan teroris secara gegabah tanpa dasar hukum dan fakta yang jelas.”
“Jika hanya terkait paparan ideologi tertentu, undang-undang kita sudah menyediakan mekanisme kesiapsiagaan dan kontra narasi,” lanjutnya.
“Label teroris ini justru bisa menjadi provokasi.
Saya mohon, penggunaan istilah teroris ini bisa diminimalisir dan digunakan dengan hati-hati,” tambah Romo.
“Proses hukum tetap harus berjalan. Bila seseorang sudah menjadi tersangka, maka ASN yang bersangkutan sudah dapat di-non jobkan, namun tetap mengikuti tahapan-tahapan prosedural,” ungkap dia.
Baca juga: Densus 88 Tangkap Sejumlah Terduga Teroris di Ciomas, Ciawi, dan Tamansari Bogor
Wamenag juga menyinggung pentingnya menjaga suasana kondusif, tidak hanya untuk stabilitas sosial, tapi juga demi menjaga iklim investasi.
Romo mengingatkan bahwa narasi ekstrem dan labelisasi yang tidak proporsional dapat memicu islamofobia serta memperkeruh opini publik.
“Presiden Prabowo menugaskan saya untuk merawat moderasi beragama.
Karena itu, persoalan-persoalan yang memunculkan pro dan kontra di masyarakat harus disikapi dengan bijak agar tidak merusak kohesi sosial,” ujarnya.