Tahukah Anda

Mengapa Naluri Kita Menyukai Anak Hewan yang Imut-Imut, Menggemaskan?

kuda nil mungil bernama Moo Deng hingga penguin Pesto dan bayi sloth Molé, internet dipenuhi dengan gambar dan video bayi hewan yang menggemaskan. 

Editor: Muliadi Gani
FOTO: X/KHAO KHEOW OPEN ZOO VIA BBC INDONESIA
BAYI KUDA NIL - Kebun Binatang Terbuka Khao Kheow di Thailand mengatakan, telah terjadi dua kali peningkatan pengunjung sejak bayi kuda nil Moo Deng lahir pada Juli 2024. 

PROHABA.CO -  Hewan memiliki bentuk yang menggemaskan dan membuat kita terhibur dengan tingkahnya yang lucu. 

Gak heran, dari kuda nil mungil bernama Moo Deng hingga penguin Pesto dan bayi sloth Molé, internet dipenuhi dengan gambar dan video bayi hewan yang menggemaskan. 

Kita sering berbagi konten seperti ini di media sosial, tetapi apa yang sebenarnya terjadi di otak kita saat melihat sesuatu yang lucu atau imut-imut?

Mengapa kita sangat tertarik dengan kelucuan bayi hewan?

Joshua Paul Dale, seorang profesor di Chuo University di Tokyo dan penulis buku Irresistible: How Cuteness Wired Our Brains and Conquered the World, menjelaskan bahwa kita mencari kelucuan karena hal itu memberikan perasaan menyenangkan.  

“Persepsi terhadap sesuatu yang lucu langsungmenarik perhatian kita dalam waktu kurang dari 1/7 detik,” kata Dale.

Ini terjadi karena bagian otak bernama ‘orbitofrontal cortex’, yang berperan dalam jaringan kesenangan dan penghargaan, langsung bereaksi terhadap kelucuan.

Reaksi ini kemudian berlanjut dengan dorongan untuk merawat, mengurangi agresi, serta meningkatkan empati dan kasih sayang.

Sesuatu terlihat lucu Konrad Lorenz, seorang ahli etologi asal Austria, dalam penelitiannya tahun 1943 mengidentifikasi sejumlah karakteristik yang disebut ‘baby’ schema atau kindchenschema yang membuat sesuatu terlihat lucu, di antaranya: kepala besar dibandingkan tubuh; dahi yang menonjol; mata besar yang terletak lebih rendah di wajah hidung; mulut kecil; pipi bulat; tubuh gemuk; gerakan goyah; dan tidak stabil.  

Baca juga: Bocah Dua Tahun Ditelan Hidup-Hidup oleh Kuda Nil

Lorenz berpendapat bahwa reaksi otak kita terhadap kelucuan adalah adaptasi evolusioner yang mendorong perilaku merawat dan melindungi, sehingga meningkatkan peluang kelangsungan hidup spesies.

Ia juga meyakini bahwa respons terhadap kelucuan ini tidak bisa ditekan atau dihindari. 

Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa atribut ‘baby’ schema juga dapat terlihat pada spesies hewan lain, terutama mereka yang anak-anaknya membutuhkan perawatan.

Hal ini mungkin menjelaskan mengapa manusia cenderung menganggap beberapa jenis hewan lebih lucu dibanding yang lain.

“Pada dasarnya, kelucuan begitu efektif dalam evolusi kita sehingga mudah untuk meluas dan memicu respons kelucuan terhadap hewan dan objek lain,” ujar Dale.

Namun, teori Lorenz tidak menjelaskan keseluruhan fenomena ini.

Kamilla Knutsen Steinnes, seorang kandidat PhD dalam analisis perilaku di Oslo Metropolitan University, mengungkapkan bahwa ada lebih dari sekadar naluri mengasuh yang terlibat dalam respons kita terhadap kelucuan.

Ia menjelaskan bahwa saat kita melihat sesuatu yang lucu, hal itu membangkitkan berbagai emosi kuat yang sebagian besar bersifat positif.

Otak kita bereaksi dengan cepat dan unik, mengaktifkan area yang terkait dengan emosi, penghargaan, motivasi, dan kesenangan.

Lebih jauh lagi, respons terhadap kelucuan mendorong perilaku prososial, keterlibatan sosial, dan kecenderungan untuk memanusiakan sesuatu.

Sama seperti manusia, hewan juga mengalami fase remaja dalam hidupnya.

Baca juga: Apakah Kuda Laut Termasuk Ikan?

Sulitnya mendefinisikan perasaan yang muncul saat melihat sesuatu yang lucu bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan bahasa.

Steinnes menulis dalam sebuah penelitian tahun 2019 bahwa “respons emosional yang muncul dari kelucuan masih jarang diteliti, mungkin karena emosi ini tidak memiliki nama spesifik dalam bahasa Inggris, Norwegia, atau Jerman.”

“Kelucuan dapat membangkitkan kama muta (perasaan terharu), kasih sayang, kelembutan, kepedulian empatik, cinta pengasuhan, kawaii, atau bahkan gemas alias cute aggression,” kata Steinnes.

Kama muta adalah istilah dari bahasa Sanskerta yang dapat dipicu oleh rasa kebersamaan.

“Secara sederhana, seseorang yang melihat anak kucing yang lucu bisa merasa hatinya tersentuh dan penuh kasih sayang.”

Sementara itu, kawaii adalah konsep populer dari Jepang yang sering diterjemahkan sebagai “imut,” tetapi sebenarnya mencakup makna kepolosan, kesederhanaan, daya tarik kecil yang menggemaskan, serta cinta, dan kasih sayang.

Dale setuju bahwa respons kita terhadap kelucuan lebih dari sekadar naluri mengasuh.

Dalam bukunya, ia menulis bahwa “perasaan kawaii mendorong keterikatan sosial, lebih dari sekadar dorongan untuk merawat.

Inilah sebabnya mengapa melihat sesuatu yang lucu membuat kita ingin mendekatinya, meskipun kita tidak memiliki keinginan khusus untuk melindungi atau mengasuhnya.”

Media sosial dipenuhi dengan foto kucing yang tidur nyenyak dengan ‘caption’ tentang bagaimana pemiliknya bekerja keras agar kucing tersebut bisa hidup santai. 

Baca juga: Tahukah Anda Mengapa Kucing Menggoyangkan Bokongnya Sebelum Melompat? Ini Penjelasannya

Ini bukan kebetulan.

Banyak dari kebiasaan kita dalam mencari dan berbagi konten lucu dipengaruhi oleh keinginan untuk melarikan diri dari kehidupan yang penuh tekanan.

Buku akademik yang diedit oleh Dale, The Aesthetics and Affects of Cuteness, membahas bahwa pencarian kelucuan modern sering kali merupakan bentuk eskapisme.

Bagi hewan, kehidupan di lingkungan domestik 'baik di rumah maupun di penangkaran' sering diasosiasikan dengan kehidupan yang nyaman di segala usia.

Misalnya, dalam kasus Moo Deng, seekor kuda nil kecil yang terkenal di internet, Dale berpendapat bahwa gerakannya lebih berperan dalam menarik perhatian orang daripada sekadar penampilannya.

“Saya pikir yang menarik perhatian orang bukan hanya bentuknya, tetapi juga caranya bermain saat disemprot selang dan cara ia menggigit penjaganya dengan cara yang lucu.

Kita tertarik pada hewan-hewan yang masih berada dalam masa sosialisasi dan penuh rasa ingin tahu terhadap dunia baru di sekitar mereka.”

Minat kita terhadap bayi hewan juga terlihat dalam tren interaksi langsung dengan satwa, seperti kebun binatang interaktif, kafe hewan, yoga dengan kambing, hingga spa kapibara.

Meskipun interaksi semacam ini dapat meningkatkan kesadaran akan konservasi, hal ini juga dapat mendorong keinginan untuk memiliki hewan liar sebagai peliharaan atau bahkan menimbulkan eksploitasi terhadap hewan.

Pada akhirnya, respons kita terhadap kelucuan bukan hanya kesenangan semata.

“Keinginan untuk melindungi, merawat, dan bermain dengan sesuatu yang lucu, bahkan hanya melalui gambar di media sosial, mendorong empati dan kepedulian,” ujar Dale.

Ini adalah bagian tak terpisahkan dari sifat manusia. “Kelucuan membuat kita lebih manusiawi,” pungkasnya. 

Baca juga: Begini Cara Memberikan Obat Pada Kucing Sakit dengan Aman

Baca juga: Katak Emas Bisa Membunuh Manusia dalam Waktu 3 Menit

Baca juga: Buaya Putih Langka Dioperasi setelah Menelan 70 Koin dari Pengunjung

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Kita secara Alami Menyukai Anak Hewan yang Imut?", 

Update berita lainnya di PROHABA.co dan Google News

 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved