Kasus
Hukum Adat Tak Bisa Digunakan untuk Menghindari Proses Pidana
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebut penerapan hukum adat di Papua terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang diduga tengah terjerat kasus
PROHABA.CO, JAKARTA - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebut penerapan hukum adat di Papua terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang diduga tengah terjerat kasus korupsi, tidak bisa digunakan untuk menghindari proses pidana yang bergulir.
Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Lukas sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi.
Belakangan, pengacaranya menyebut masyarakat adat meminta kasusnya diserahkan sepenuhnya ke hukum adat.
“Hukum adat tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk menghindari proses pidana,” kata Fickar, Rabu (12/10).
Ia menjelaskan, hukum adat hanya berlaku bagi komunitas adat dengan hukuman maksimal berupa dikucilkan dan denda.
Baca juga: Pakar Hukum: Kasus Migor Tak Boleh Berhenti di Tengah Jalan
Sementara, kasus korupsi merupakan tindak pidana yang penegakan hukumnya tidak pandang bulu.
Termasuk dalam hal ini adalah kepala adat yang menjadi pejabat negara.
Karena itu, meski pengacara Lukas menyatakan klien mereka telah ditetapkan sebagai Kepala Suku Besar dan perkaranya diserahkan kepada hukum adat, KPK tetap bisa mengusut dugaan suap dan gratifikasi tersebut.
“Bisa, (KPK dan hukum adat) beda ranah,” ujar Fickar.
Menurutnya, semestinya semua pejabat publik di daerah menyadari hukum adat tidak bisa digunakan untuk menghindari hukum positif atau hukum yang berlaku secara nasional.
Sebab, jabatan yang diemban merupakan hasil pemilihan umum kepala daerah.
“Sekalipun de facto yang bersangkutan merangkap sebagai kepala adat.
Hukum adat hanya efektif terhadap jabatan-jabatan adat,” tuturnya.
Baca juga: Istri dan Anak Lukas Enembe Tidak Penuhi Panggilan KPK
Baca juga: SBY dan AHY Diminta Turun Tangan Dorong Lukas Enembe Bersedia Hadiri Pemeriksaan KPK
Sebelumnya, pengacara Lukas, Aloysius Renwarin menyebut kliennya telah diangkat oleh dewan adat dari tujuh suku menjadi Kepala Suku Besar.
Ia juga mengklaim masyarakat adat sepakat kasus Lukas diserahkan kepada hukum adat.
Selain itu, mereka meminta pemeriksaan KPK terhadap Lukas dilakukan di tanah lapang di Jayapura, bukan di Jakarta.
“Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” kata Aloysius saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/10).
Lukas ditetapkan sebagai tersangka pada 5 September.
Ia diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
KPK telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Lukas sebanyak dua kali, yakni 12 dan 26 September.
Namun, ia tidak hadir dengan alasan sakit.
(kompas.com)
Baca juga: KPK Panggil Hakim Agung Gazakba dan Sekretaris MA
Baca juga: Lukas Enembe Mangkir Lagi dengan Alasan Sakit, KPK Gandeng IDI untuk Cek Kesehatan Gubernur Papua
Baca juga: Boyamin: Jika Masih Mangkir KPK Harus Jemput Paksa Lukas Enembe