Khutbah Jumat

Merawat Damai dengan Cinta

Hari ini 15 Agustus 2025 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Aceh.

Editor: Muliadi Gani
SERAMBI/M ANSHAR
MASJID RAYA BAITURRAHMAN - Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Dr Tgk Munawar A Djalil MA (insert), yang menjadi khatib Jumat di Masjid Raya Baiturrahman pada hari ini, 15 Agustus 2025, akan menyampaikan khutbah dengan judul ‘Merawat Damai dengan Cinta.’ 

Dr. Tgk. Munawar A. Djalil, MA 

PROHABA.CO - Hari ini 15 Agustus 2025 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Aceh.

Sebab, setelah 30 tahun lebih konflik mendera Aceh disepakatilah perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan GAM melalui penandatanganan MoU Helsinki di Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam.

Artinya, selama dua dekade (20 tahun) ini masyarakat Aceh sudah merasakan begitu besar karunia yang diberikan Allah berupa nikmat kedamaian dan tentunya kita wajib mensyukurinya.

Karena itu, dalam memaknai damai, marilah kita menempatkan diri sebagai hamba yang taat dan mensyukuri kedamaian sebagai nikmat Allah.

Perlu kita ketahui bahwa setiap nikmat itu dapat menjadi pembuka atau penutup pintu nikmat lain.

Kita selalu berharap kepada nikmat, padahal rahasia untuk mengundang nikmat adalah syukur atas nikmat yang ada.

Hari-hari ini dan masa masa mendatang yang paling penting kita bicarakan adalah bagaimana mensyukuri nikmat yang sudah kita peroleh dan bagaimana mengisi damai itu dengan amalan kebajikan serta merawatnya dengan hati yang berlandaskan cinta dan kasih sayang.

Salah satu bentuk implementasi rasa syukur masyarakat Aceh dengan nikmat damai 20 tahun adalah membumikan kecintaan serta menguburkan segala macam bentuk kebencian dan dendam.

Karena momentum damai Aceh menjadi dasar tranformasi perubahan keadaan wilayah, dari Aceh sebagai wilayah perang (dar alharb) menjadi sebuah wilayah yang damai (dar alsalam).

Bagi orang Aceh yang terkenal sebagai masyarakat religius, tentu kita memahami bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian.

Islam sangat mendambakan terwujudnya kedamaian di muka bumi, karena kedamaian itu merupakan nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah kepada manusia yang wajib dilestarikan.

Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini Khatib akan menjelaskan betapa tingginya derajat orang-orang yang senantiasa selalu menjaga hati penuh dengan cinta dan kasih sayang.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasai, Anas bin Malik bercerita Rasulllullah Saw berkata: Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.”

Tak lama, para sahabatpun melihat seorang laki-laki Anshar dengan wajah basah.

Air wudhuk menetes dari janggutnya.

Tangannya menjinjing sepasang sandal jepit.

Tak ada yang spesial secara fisik. Para sahabat pun bertanya-tanya alasan apa yang membuat laki-laki tersebut menjadi penghuni surga.

Tentu saja itu derajat tinggi yang sangat diinginkan setiap Muslim, apalagi para sahabat Rasulullah.

Mereka semua menginginkan jaminan surga. Keesokan hari belum terjawab rasa penasaran para sahabat, Rasulullah kembali mengucapkan hal sama.

“Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.” 

laki-laki yang sama dengan wajah basah wudhuk dan membawa sandal itu lagi yang muncul.

Para sahabat semakin bertanya-tanya, tapi tak ada satu pun yang berani bertanya pada Rasulullah. 

Hingga ketiga kali, Rasulullah mengucapkan hal yang sama. Namun, tetap saja yang muncul laki-laki tadi.

Para sahabat pun yakin laki-laki itulah calon penghuni surga.

Tapi, tak satu pun sahabat yang mengetahui alasan di balik rahmat Allah memasukkan laki-laki itu dalam golongan yang selamat pada hari akhir.

Namun, mereka tetap merasa tak enak hati jika menanyakannya hal itu kepada Rasulullah.

Tinggallah para sahabat terus dirundung keingintahuan.

Salah satu sahabat yang amat penasaran yakni Abdullah bin Amr bin Ash, memilih inisiatif untuk mencari tahu sendiri.

Hari ketiga setelah Rasulullah mengucapkan hal yang sama, Abdullah bin Amr bin Ash bermaksud mengikuti si laki-laki penghuni surga. 

Ia pun membuntutinya hingga tiba di rumah laki-laki itu.

Abdullah berpikir bagaimana cara agar ia dapat mengetahui amalan apa yang mengantarkan pria itu meraih keistimewaan sebagai penghuni surga. Ia pun kemudian menyapa pria tersebut dan bermaksud meminta izin untuk menginap di rumahnya.

Abdullah bermaksud tinggal di sana agar dapat mengetahui amalan si penghuni surga. 

“Aku sudah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari.

Jika boleh, aku ingin tinggal bersamamu selama tiga hari,” ujar Abdullah kepada laki-laki itu. 

Si penghuni surga tersebut dengan senang hati menyambut Abdullah.

“Tentu, silakan,” ujarnya gembira. Maka, tinggallah Ibnu Amr di rumah calon penghuni surga itu selama tiga hari.

Selama tinggal di sana, Abdullah mengamati setiap ibadah dan amalan yang dilakukan si calon penghuni surga. 

Hari pertama, Abdullah tak menemukan adanya amalan spesial dari laki-laki itu.

Hari kedua, ibadahnya masih sama, tak ada yang istimewa.

Hingga hari terakhir, Abdullah tak juga menemukan ibadah yang luar biasa dari si laki-laki yang berhasil meraih keutamaan surga tersebut.

Abdullah hanya melihat ibadah si laki-laki yang biasa, hanya menjalankan ibadah wajib saja.

Di sepertiga malam, pria itu tak pernah bangun shalat Tahajud.

Meski Abdullah bin Amr selalu mendengar laki-laki itu berzikir dan bertakbir acap kali terjaga dari tidur, pria itu baru bangun saat waktu shalat Subuh tiba.

Luput dari shalat malam, pria penghuni surga itu pun tak menjalankan puasa sunat.

Abdullah juga tak pernah mendengar pria itu berbicara, kecuali ucapan yang baik.

Tiga hari terlewat tanpa menemukan jawaban apa pun. 

Bahkan, hampir saja Abdullah meremehkan amalan si penghuni surga jika tak mendapat jawaban sebelum pamit.

Ketika izin pulang setelah menginap tiga hari, Abdullah mengakui maksudnya untuk mencari keutamaan amalan si laki-laki itu hingga beruntung menjadi salah satu penghuni surga Allah yang dipenuhi segala kenikmatan.

Kepada pria itu Abdullah berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku.

Tujuanku menginap di rumahmu adalah karena aku ingin tahu amalan yang membuatmu menjadi penghuni surga, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah.

Aku bermaksud dengan melihat amalanmu itu aku akan menirunya supaya bisa menjadi sepertimu.

Tapi, ternyata anda tidak terlalu banyak beramal kebaikan. 

Apakah sebenarnya hingga kau mampu mencapai sesuatu yang dikatakan Rasulullah sebagai penghuni surga?” tanyanya.

Laki-laki itu pun tersenyum dan menjawab ringan, “Aku tidak memiliki amalan, kecuali semua yang sudah engkau lihat selama tiga hari ini.”

Jawabannya itu tak memuaskan hati Abdullah ibn Amr. 

Namun, ketika Abdullah melangkah keluar dari rumah, laki-laki tersebut memanggilnya.

Ia berkata kepada Abdullah, “Benar, amalanku seperti yang engkau lihat.

Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin atau selainnya. 

Aku juga tidak pernah membenci saudaraku yang lain, aku tak pernah iri atau hasad kepada seseorang atas karunia yang sudah diberikan Allah kepadanya dan aku selalu menanamkan rasa cinta kepada saudara-saudaraku.”

Mendengar perkataan tersebut, takjublah Abdullah bin Amr bin Ash.

Ia yakin sifat tak pernah ada kebencian, iri, dengki, dan hasad membuat pria itu masuk surga. 

Ia pun malu karena banyak dari Muslimin yang tak memperhatikan akhlak tersebut.

Tak hanya ibadah semata yang mengantarkan manusia merasakan surga Allah, tapi juga amalan kebaikan, termasuk sifat dan akhlakul karimah. 

“Kemungkinan amalan inilah yang membuatmu mendapatkan derajat yang tinggi, Ini adalah amalan yang sangat sulit untuk dilakukan,” ujar Abdullah karena anda selalu menghadapi sesama kaum muslim dengan hati yang bersih.

Sebagai catatan akhir khutbah ini, khatib mencoba menyentuh hati kita semua, mari bersikap realistis dengan kondisi Aceh saat ini. 

Meski damai Aceh sudah 20 tahun kita menikmatinya, namun masih begitu banyak kendala dan hambatan di depan mata.

Karena itu, marilah kita membangun Aceh dengan memberikan kontribusi positif untuk kemajuan Aceh, hindari sikap dan sifat sentimen yaitu dengan menghilangkan keegoan serta kesombongan.

Kuburkan sikap hipokrisme yaitu suatu tatanan hidup yang melanggar prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan serta menghilangkan rasa cinta humanisme

Semoga Allah Swt memberi tuntunan kepada kita melalui petunjuk-Nya yang kemudian dinamakan agama agar kita dapat merawat damai Aceh dengan membumikan rasa cinta dan kasih sayang sesama. Allahu ‘Alam.

Baca juga: Belajar Strategi Ketahanan Pangan dari Nabi Yusuf

Baca juga: Menyelami Hakikat Kemudahan Islam  

Baca juga: Akhlak Seorang Pemimpin

Update berita lainnya di PROHABA.co dan Google News

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved