Luar Negeri

Jerman Ingin Berusaha Lepas Ketergantungan pada Cina

Presiden Perancis Emmanuel Macron sempat memicu kebingungan ketika ia mengatakan bahwa Eropa seharusnya tidak hanya menjadi "pengikut" AS dalam ...

Editor: Muliadi Gani
GETTY IMAGES/MAJA HITIJ via DW INDONESIA
Peti kemas dari China di pelabuhan Duisburg. 

PROHABA.CO, BERLIN - Ekonomi Cina dan Jerman telah terjalin sangat erat.

Ini jadi dilema, saat situasi politik penuh ketidakpastian.

Belajar dari ketergantungan energi pada Rusia, Jerman kini juga mencoba lepas dari ketergantungan pada Cina.

Presiden Perancis Emmanuel Macron sempat memicu kebingungan ketika ia mengatakan bahwa Eropa seharusnya tidak hanya menjadi "pengikut" AS dalam persaingan geopolitik AS-Cina.

Eropa, kata Macron, harus menghindari terseret ke dalam konfl ik AS-Cina soal Taiwan.

Kalangan para pemimpin bisnis Jerman, banyak yang menyetujui pandangan Macron itu.

"Jika kita tidak punya hubungan lagi dengan Cina, kemakmuran di Jerman akan menurun," kata Holger Engelmann, Direktur Utama perusahaan pemasok perangkat otomotif Webasto.

Bagi perusahaannya, pasar Cina memang sangat penting.

Lebih dari sepertiga penjualan Webasto dilakukan di Cina, di mana perusahaan memiliki 11 pabrik.

Cina saat ini adalah mitra dagang terpenting bagi Jerman, di tempat kedua barulah Amerika Serikat.

Baca juga: Lomba Bunuh Kucing Liar di Selandia Baru Dibatalkan Usai Protes Massal

Itulah dilema yang dihadapi Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, yang saat ini sedang berkunjung ke Cina.

Dalam kunjungannya dia ingin mencari lebih banyak peluang untuk kerja sama di masa depan, namun pada saat yang sama juga berusaha mengurangi ketergantungan bisnis Jerman pada Cina.

Ketergantungan impor Carsten Brzeski, ekonom di bank ING Netherlands, menggambarkan ketergantungan Jerman pada Cina sebagai "sangat tinggi", terutama terkait bahan baku dan produk setengah jadi.

"Ini jauh lebih tinggi daripada, misalnya, ketergantungan Amerika pada Cina.

Dan juga lebih besar daripada ketergantungan Perancis pada Cina,” katanya kepada DW.

Beijing sendiri sudah lama berusaha melepaskan citra negaranya sebagai "bengkel perakitan murah bagi dunia."

Dengan agenda "Made in Cina 2025", Beijing telah memulai kebijakan industri yang bertujuan mengangkat sektor manufaktur teknologi tinggi ke tingkat global.

Di beberapa sektor, agenda tersebut sudah membuahkan hasil.

Dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik misalnya, pabrikan China CATL sudah memasok sekitar sepertiga dari semua baterai yang dibutuhkan di seluruh dunia untuk mobil listrik.

Baca juga: Wanita Cina Tewas karena Flu Burung H3N8, Kematian Pertama di Dunia

Baca juga: USK Diundang untuk Pamerkan Aneka Produk Nilam di Jerman

Sekitar 80 persen baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik di seluruh dunia berasal dari Cina.

"Tanpa Cina, tidak akan ada (pasar) mobil listrik," kata Carsten Brzeski, dan menambahkan:

"Tanpa Cina, tidak ada transisi energi, tanpa Cina, tidak ada sel surya di atap kami." Bagi kita sudah jelas, perkembangan ekonomi Jerman sangat terkait dengan Cina, "terutama dalam jangka pendek."

"Jerman hanya memiliki sedikit ruang untuk bermanuver", ungkap Carsten Brzeski dari ING.

"Sejak pecahnya perang di Ukraina, refl eks pertama adalah mengatakan: 'Kita sekarang harus lebih fokus pada negara-negara sahabat dan mengakhiri atau mengurangi ketergantungan kita pada Cina.' Tapi itu sama sekali tidak mungkin," tegasnya.

Sebaliknya, banyak perusahaan Cina memiliki kepentingan besar di Jerman dan pasar Eropa, dan telah memperoleh akses melalui sejumlah akuisisi dan kesepakatan kepemilikan.

Pabrikan robot Jerman Kuka misalnya, pemimpin bisnis di pasarnya, tahun 2016 diambil alih oleh grup Midea Cina.

Bahkan pemegang saham terbesar Mercedes Benz saat ini adalah dua investor dari Cina.

Namun belakangan, kekhawatiran di Jerman pada besarnya pengaruh Cina makin meningkat. Investor dari Cina semakin dipandang dengan rasa curiga, sekalipun belum ada kasus investor Cina yang tidak mengikuti aturan yang berlaku di Jerman.

Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik terkait Taiwan, banyak pemerintahan negara Barat berusaha menahan ekspansi Beijing, atau setidaknya menjauhkan perusahaan Cina dari pasar domestik dan infrastruktur pentingnya.

Tekanan itu juga sekarang berlaku bagi Jerman.

Sementara banyak pengamat berpandangan, Pemerintah Jerman kelihatannya masih belum menemukan strategi menghadapi perkembangan baru di kancah politik global dan dunia bisnis saat ini.

(kompas.com)

Baca juga: Lato-Lato Viral, Dipatenkan di Jerman hingga Akhirnya Dilarang

Baca juga: Peneliti Cina Akhirnya Buka Data Asal-usul Covid-19 yang Lama Dinanti

Baca juga: Rusia dan Cina Segera Ciptakan Mata Uang Baru, Ingin Lepas dari Dollar AS

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved